Bandung, sekitar tahun 1989.
"Lho, nomer 8 kok jawabannya D sih?", aku berbisik.
"Ya iya lah. Yang suka bajak sawah itu musang!", jawab teman sebangkuku sambil berbisik juga. Sejenak ia melirik ke depan kelas, memperhatikan guru kami yang tampak sibuk memeriksa PR kami.
Aku menghela nafas sambil membaca ulang soal ulangan IPA itu. Soal nomor 8, pilihan berganda. Hewan yang biasa digunakan membajak sawah? Ya, kerbau lah! Apa ada hewan lain yang bisa membajak sawah? Begitu pikirku dalam hati.
"Kok musang?", bisikku lagi dengan nada heran.
Temanku itu tersenyum.
"Iya. Jawabannya musang. Musang itu rajin, kalo kerbau itu suka ngamuk!", ujar temanku itu mantap. Ia mengangguk-anggukan kepalanya, yakin sekali.
Aku terdiam, berusaha berpikir keras. Teman sebangku-ku itu memang tergolong anak yang pintar di kelas. Mungkin saja ia lebih tahu tentang dunia hewan, khususnya hewan bernama musang itu. Dalam hitungan detik, aku mengubah jawabanku di soal nomor 8. Dari kerbau menjadi musang.
***
Kawan, cerita itu adalah kisah nyata. Kalau tidak salah, ketika aku duduk di kelas 3 Sekolah Dasar. Ketika itu, kami mengerjakan ulangan IPA. Sebetulnya, aku sudah selesai mengerjakan semua soal. Entah kenapa, sebelum mengumpulkan berkas ulangan ke depan kelas, aku melirik jawaban teman sebangku-ku itu.
Keesokan harinya, aku tahu bahwa jawabanku sebelumnya sudah benar. Teman sebangku-ku yang salah. Sejak saat itulah, aku berjanji untuk tidak menyontek dalam kondisi apapun. Janji itu tetap aku pegang hingga aku lulus kuliah, bahkan hingga saat ini.
Bagiku, lebih baik mengosongkan jawaban daripada mengisi jawaban dari hasil contekan. Ini sudah menjadi prinsip hidupku. Prinsip yang lahir dari sebuah kesalahan. Hmmm, terkadang sebuah kesalahan itu memberikan pelajaran. Pelajaran untuk membuat hidup lebih baik.
***
Panyabungan, November 2012.
Aku tertegun, masih terpaku melihat laporan absensi pegawai. Laporan ini dicetak langsung dari mesin handkey. Dari sinilah terlihat daftar "kesalahan"-ku selama bekerja di Badan Pusat Statistik Kabupaten Mandailing Natal di tahun 2012 ini. Maklum saja, mesin handkey merekam kehadiranku di kantor. Tanpa ampun, tanpa toleransi. Ini adalah catatannya.
=========================================================
Januari           : 9 hari tidak hadir, 1 hari terlambat
Februari         : 1 hari terlambat
Maret             : 1 hari tidak hadir, 1 hari pulang lebih cepat
April               : 2 hari tidak hadir
Mei                 : 2 hari tidak hadir
Juni                 : -
Juli                  : 1 hari pulang lebih awal
Agustus           : 10 hari tidak hadir
September     : -
Oktober          : 1 hari tidak hadir
=========================================================
Memalukan? Tentu saja. Memang, ketidakhadiranku di kantor bisa jadi karena sedang sakit, ada tugas luar, libur nasional, ijin, atau cuti pulang kampung. Tapi tetap saja tidak enak dilihat. Laporan ini seperti membeberkan semua daftar kesalahanku.
Kini, laporan absensi itu akan dikaji oleh para pimpinan sebagai bahan perhitungan tunjangan remunerasi. Perlukan laporan absensi itu diperbaiki? Diutak-atik agar enak dilihat dan tunjangan remunerasinya tidak dipotong? Diedit-edit agar tidak jadi bahan pertanyaan pimpinan? Hmmm, aku pikir tidak perlu.
Jika laporan absensi itu diperbaiki, maka Reformasi Birokrasi hanyalah mimpi. Jika laporan absensi itu diutak-atik, maka Reformasi Birokrasi hanyalah omong kosong. Biarlah laporan absensi itu tercetak apa adanya. Biarlah kesalahan-kesalahan kita itu menjadi pelajaran. Pelajaran agar kita menjadi lebih baik lagi di masa depan. Sama halnya dengan kisah musang pembajak sawah itu, yang terjadi sekitar 23 tahun yang lalu.
***
(Didedikasikan untuk Riki Gumilar, teman sebangku yang berhasil meyakinkanku bahwa musang adalah hewan pembajak sawah)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H