Indonesia adalah negara kesepakatan bukan negara yang terbentuk akibat penaklukan. Oleh karena hal tersebut maka harus ada transparansi keseimbangan di dalam penyelenggaraan negara agar tetap berada di dalam jalur (Romi Librayanto pada Acara Seminar Forum Mahasiswa HAN Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin).Â
Pernyataan dari Dosen fakultas hukum tersebut menggambarkan bagaimana kemudian kekuasaan berjalan pada pembagian-pembagian tertentu agar tercipta keharmonisan di dalamnya. "Power tends to corrupt, absolute power currupts absolutely" ungkapan Lord Acton pada  tahun 1887 adalah alasan yang jelas mengapa kekuasaan itu harus dibagi.Â
Pembagian kekuasan menurut teori Montesque dalam bukunya "L'Esprit des Lois" ada tiga yaitu Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif yang kemudian juga diterapkan di Indonesia. (Kusnardi,1983:141). Namun seiring dengan perkembangan zaman teori tersebut yang juga sering disebut sebagai trias politika tidak dapat diterpakan secara murni dikarenakan berkembangnya sistem check and balance  yang lebih memungkinkan untuk diterapkan. (Kusnardi,1983 : 142).
Permasalahan Frist Travel pada hakikatnya merupakan bagian dari permasalahan Yudikatif karena menyangkut penegakan hukum terkhususnya hukum pidana yang berkaitan dengan tindak pidana penipuan.Â
Berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Depok dan dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Agung Nomor 3096 K/Pid.Sus/2018 pada tingkat kasasi permohohonan jaksa penuntut umum dikabulkan sebagian dengan menvonis penjara Anniesa Hasibuan dan suaminya Andika Surrachman selama 18 dan 20 tahun.Â
Namun yang menjadi permasalahan adalah adanya tuntutan mengenai pengembalian uang jamaah tidak dikabulkan dan aset First Travel  menjadi barang rampasan negara. Menurut Sufari selaku  Mantan Kepala Kejaksaan Negeri Depok  di dalam surat dakwaan jaksa penuntut umum meminta agara barang bukti itu dikembalikan kepada jamaah dengan alasan bahwa berdasarkan keterangan terdakwah bahwa barang bukti yang disita adalah uang dari jamaah (Indonesia Lawyers Club yang dunggah pada tanggal 19 November 2019).Â
Namun hakim memutuskan lain dengan berbagai pertimbangan salah satunya adanya penolakan dari Paguyuban Pengelola Aset Korban wewakili 100 orang korban. Pada kesempatan yang sama Lutfi Yazid mengatakan bahwa ini hanyalah bentuk peralihan beban dari kejaksaan kepada paguyuban yang notabene apabila menerima aset tersebut jelas akan dikeroyok oleh 63.000 lebih jamaah yang lain.Â
Hal tersebut semakin diperkuat dengan tidak adanya wewenang pihak paguyuban untuk membagikan dan aset yang disebutnya pada saaat itu hanya 25 Milyar padahal kerugian jamaah mencapai 950 Milyar. Meskipun terdapat silang pendapat antara pihak kejaksaan namun itu terkait rana teknis saja.Â
Pada subtansinya kejaksaan dan pihak paguyuban bersepakat untuk barang bukti agar diserahkan kepada jamaah. Namun Ketua Komisi Yudisial, Jaja Ahmad Jayus mendukung penuh keputusan MA dan mengatakan bahwa itu sudah sesuai dengan hukum yang berlaku dn pertimbangan hakim adalah normative sehingga tidak dapat disalahkan. (Hukum Online Tanggal 23 November 2019)
Penulis beranggapan bahwa negara berhutang pada rakyat dalam dua hal. Penegakan keadilan dalam hukum, dan kepastian dalam hukum. Terkait penegakan keadilan dalam hukum, ada beberapa peraturan perundang-undangan yang dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam mengambil putusan.Â
Pertama adalah Kitab Undang-Undang Acara Pidana yang secara jelas mengurai terkait barang sitaan pada Pasal 46 ayat 1 yang berbunyi  "Benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka dari siapa benda itu disita, atau kepada orang atau kepada mereka yang paling berhak, apabila :
Kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak memerlukan lagi.
Perkara tersebut tidak jadi dituntut karena tidak cukup bukti atau ternyata tidak merupakan tindak pidana.
Perkara tersebut dikesampingkan untuk kepentingan umum atau perkara tersebut ditutup demi hukum, kecuali apabila benda itu diperoleh dari suatu tindak pidana atau yang dipergunakan untuk melakukan suatu tindak pidana."
Berdasarkan uraian tersebut tidak memuat sama sekali tentang kewenangan negara untuk mengambil hasil dari barang sitaan. Melainkan barang sitaan harusnya dikembalikan kepada yang berhak. Berdasarkan keterangan terdakwa dalam persidangan secara terang dan jelas pula bahwa jamaah yang paling berhak terhadap barang sitaan tersebut.Â
Hakim bisa saja menyebutkan jamaah sebagai orang yang paling berhak dan sejalan dengan bunyi ayat selanjutnya "Apabila perkata sudah diputus, maka benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka yang disebut dalam putusan tersebut, kecuali jika menurut putusan hakim benda itu dirampas untuk negara, untuk dimusnahkan atau untuk dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan lagi atau jika benda tersebut masih diperlukan sebagai barang bukti dalam perkara lain."Â
Namun lagi-lagi hakim menafsirkan lain dan menelaah bahwa barang tersebut disita oleh negara. Padahal dalam ayat di atas secara jelas menerangkan bahwa dirampas untuk negara hanya untuk dimusnahkan yang lebih berkaitan kepada benda-benda berbahaya dan atau diperlukan pada perkara lain yang berkiatan dengan penyertaan dalam tindak pidana padahala perkara ini adalah perkara tunggal yaitu penipuan.
Pertimbangan lain yang dapat digunakan adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Dalam hal yang diduga sebagai pelaku tindak pidana tidak ditemukan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari, penyidik dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan negeri untuk memutuskan Harta Kekayaan tersebut sebagai aset negara atau dikembalikan kepada yang berhak(Pasal 67 Ayat 2).Â
Meskipun dalam pasal tersebut memberi dua opsi dalam barang sitaan, namun berdasarkan fakta persidangan menurut penulis opsi mengembalikan kepada yang berhak adalah pilihan yang lebih tepat karena notabene negara tidak dirugikan sama sekali melainkan yang dirugikan adalah jamaah. Walaupun negara telah melakukan tertib hukum namun negara belum dapat memenuhi rasa keadilan hukum.Â
Hal tersebut terbukti dari para jamaah yang tidak meraskan keadilan dengan adanya putusan MA tersebut. Padahal sejatinya berdasarkan konsep welfare state modern negara tidak lagi sebagai negara polis yang hanay menjaga ketertiban melainkan hadirnya negara untuk memberikan kemanfaatan untuk kemakmuran rakyat. Ini telah menjadi amanah ideologi dan konstitusi.
Adapun terkait kepastian hukum negara berhutang kepada rakyat terkait kekuatan hukum  dari Surat Keputusan  Kementerian Agama  Nomor 589 Tahun 2017 yang menyatakan bahwa seluruh uang jemaah wajib kembali atau diberangkatkan. S
Selain itu kepastian hukum juga tidak terjamin dalam hal mekanisme pembagian barang sitaan. Pakar Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), Yenti Garnasih berpendapat bahwa hakim memutuskan merampas untuk negara karena tidak adanya mekanisme yang jelas di dalam UU TPPU yang membahas terkait pembagian  aset rampasan kepada korban penipuan investasi (BBC Indonesia  Tanggal 19 November 2019).
Penulis beranggapan bahwa pemerintah dapat memberikan rasa keadilan tersebut dengan melalui peninjauan kembali. Namun hal tersebut hanya dapat terjadi apabila terjadi sinergi antara pihak pemerintah dengan masyarakat.Â
Peninjauan kembali hanya dapat dilakukan apabila ada pihak dalam gugatan yang melakukan dan akan berhasil apabila setiap pihak yang dapat memebri keterangan tidak tinggal diam dan bersikap akuntabel dan berintegritas. Kedua jaminan kepastian hukum dapat diwujudkan dengan membuat aturan baku terkait asset recovery  dan kedudukan hukum surat keputusan, agar tidak terjadi tumpang tindih di dalam penerapannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H