Mohon tunggu...
Andrio N Tambun
Andrio N Tambun Mohon Tunggu... Akuntan - Mahasiswa

Prof. Dr. Apollo. M.Si. Ak. 55520120034 Andrio N Tambun Universitas Mercubuana Jakarta Magister Akuntansi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Komentar atas Jurnal When Do Developing Countries Negotiate Away Their Corporate Tax Base by Martin Hearson

3 April 2022   20:05 Diperbarui: 3 April 2022   20:08 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

THE COMMENTS ON THE JOURNAL WHEN DO DEVELOPING COUNTRIES NEGOTIATE AWAY THEIR CORPORATE TAX BASE?; MARTIN HEARSON

Andrio N Tambun 55520120034

Universitas Merchubuana

Jika kita melihat sebagai kacamata awam yang mana jika suatu negara sudah melakukan tax treaty/P3B dengan negara lain maka akan memberikan dampak positif atau paling tidak memberikan hasil yang win-win solution antarnegara yang melakukan perjanjian. Berdasarkan teori P3B/Tax treaty dibuat berdasarkan pandangan Arnold (2016), tax treaty merupakan salah satu aspek penting dalam peraturan perpajakan internasional. P3B memberikan hak dan kewajiban kepada negara-negara yang mengadakan perjanjian.

Berdasarkan jurnal yang dibuat oleh Martin Hearson yang berjudul When Do Developing Countries negotiate Away Their Corporate tax Base? Dari jurnal ini kita dapat melihat bahwa argumen yang di kemukakan oleh Arnold (2016) berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Martin Hearson. 

Hasil berdasarkan penelitian oleh Martin Hearson bahwa Negara-negara berkembang yang lebih bergantung pada pajak penghasilan perusahaan lebih mungkin untuk menandatangani perjanjian pajak dengan negara-negara kaya dan lebih mungkin untuk menegosiasikan tarif WHT yang lebih tinggi dalam perjanjian tersebut, tetapi tidak lebih mungkin untuk mendapatkan hasil yang lebih baik secara keseluruhan. 

Hal ini merupakan argumen yang saya yakinin benar dikarenakan seperti contoh Indonesia merupakan masih menjadi negara berkembang. Dimana negara ini masih menempatkan pajak sebagai sumber penghasilan terbesar sebagai pendapatan negara. Atas dasar ini Negara sangat bertumpu untuk melakukan pungutan pajak berdasarkan UU Pajak Penghasilan baik atas wajib pajak dalam negeri maupun Wajib Pajak Luar Negeri. 

Atas dasar ini juga tentu negara berkembang lebih mengutamakan potongan berdasarkan sumber penghasilan itu berasal, dan dalam hal ini sumber pendapatan berasal dari Negara Berkembang. Berketerbalikan dengan negara maju, dimana negara Maju sudah kuat dalam hal pajak, dimana negara maju tidak menerima pendapatan tidak hanya berdasarkan dari pajak, tetapi banyak perusahaan-perusahaan multinasional dan kuat sudah melakukan ekspansi dan investasi ke banyak negara, sehingga menghasilkan arus masuk yang lebih besar ke Negara Maju. Atas pernyataan ini telah juga di lakukan penilitian Jurnal oleh Ning Rahayu di tahun 2010 berjudul Praktik Penghindaran Pajak oleh Foreign Direct Investment Berbentuk Perseroan Terbatas Penanaman Modal Asing. 

Hasil jurnal ini menemukan bahwa Negara berkembang yang melakukan P3B dengan negara maju tidak selalu di untungkan sekalipun negara berkembang menerapakan potongan pajak penghasilan atas penghasilan yang bersumber dari negaranya. 

Banyak perusahaan yang berasal dari negara maju melakukan praktik-praktik penghindaran pajak (tax avoidance) yang pada umumnya dilakukan oleh Foreign Direct Investment (FDI) yang berbentuk subsidiary company (PT.PMA) di Indonesia dilakukan melalui skema transfer pricing, thin capitalization, Controlled Foreign Corporation (CFC), pemanfaatan negara tax haven dan treaty shopping. Adapun skema penghindaran pajak yang paling banyak digunakan di Indsonesia adalah skema transfer pricing, thin capitalization dan treaty shopping. 

Kemudian, praktik penghidaran pajak tersebut dilakukan dengan memanfaatkan peluangpeluang yang terdapat dalam ketentuan perpajakan yang berlaku. Hal tersebut juga diperkuat dengan karakteristik hubungan antara anak perusahaan (subsidiary company) di Indonesia dengan induk perusahaan (parent company) di luar negeri yang menurut kacamata pajak dianggap sebagai entitas terpisah (separate entity). 

Dengan demikian antara anak perusahaan dengan induk perusahaan tersebut dapat melakukan transaksi (inter company transaction) yang diatur sedemikian rupa agar anak perusahaan (subsidiary company) di Indonesia mengalami kerugian, sedangkan secara keseluruhan bisnisnya selain di Indonesia masih mengalami untung.

Berdasarkan hasil jurnal Martin Hearson tersimpulkan bahwa Negara berkembang yang meningkatkan pendapatan pajak secara keseluruhan lebih mungkin untuk menegosiasikan klausul pembuatan bentuk usaha tetap. Penerimaan pajak yang lebih besar secara keseluruhan dikaitkan dengan negosiasi yang lebih baik, tetapi hal itu tidak membuat suatu negara lebih atau kurang mungkin untuk menandatangani perjanjian pajak. Lebih jauh lagi, klausa yang lebih tidak jelas cenderung tidak menguntungkan negara berkembang ketika hubungan FDI antara kedua negara lebih berat sebelah, dengan negara berkembang lebih merupakan pengimpor dari mitra perjanjian. 

Dalam hal ini kita bisa melihat bahwa sekalipun negara aliran dana investasi yang besar masuk ke dalam negara berkembang, jika pasal yang mengatur dalam P3B/Tax Treaty tidak jelas maka cenderung akan tidak menghasilkan perjanjian yang win-win solution, sekalipun menghasilakan perjanjian yang jelas berdasarkan jurnal Pungki Yunita Chandrasari tentnag Dampak Perjanjian Pajak terhadap Penanaman Modal Asing di Indonesia menghasilkan kesimpulan yang sejalan. 

Jurnal yang dilakukan Pungki menghasilkan tax treaty dalam jangka pendek dan tax treaty dalam jangka menengah secara individual tidak berpengaruh terhadap FDI di Indonesia dan tidak signifikan secara statistik. Dari sisi variabel independen, hanya tax treaty dalam jangka panjang yang berpengaruh positif dan signifikan terhadap aliran masuk FDI Indonesia. 

Maka dalam hal ini kita bisa melihat dan menyimpulkan Jika melakukan perjanjian pajak berganda/Tax treaty terhadap mitra negara, tentu pengawasan terhadap setiap perusahaan-perusahaan yang melakukan investasi besar di Negara berkembang harus di tingkatkan. Negara berkembang tidak boleh hanya terlena atas Investasi yang besar melainkan tetap melakukan pengawasan atas praktik-praktik penghindaran pajak yang ilegal. Adanya Tax Treaty tidak melulu sejalan dengan tingkat FDI di negara berkembang. 

Perusahaan Maju cenderung juga akan melihat apakah Tax Treaty dapat menguntungkan atau tidak. Banyak jurnal juga yang sudah menunjukan bahwa tidak adanya hubungan yang erat antara Tax Treaty dengan FDI meskipun negara berkembang telah mengorbankan potensi pajaknya. Sebelum pemerintah melakukan perjanjian pajak berganda perlu tingkat kehati-hatian dalam  membuat kesepakatan dalam sebuah Tax Treaty sehingga di harapkan potensi kehilangan penerimaan pajak dapat di ambil dengan memanfaatkan dari FDI yang didapatkan.

Daftar Pustaka

  • Hearson, Martin; 2018. When Do Developing Countries Negotiate Away Their Corporate Tax Base?. London: Wiley Online Library
  • Yunita Chandrasari, Pungki; 2019. Dampak perjanjian Pajak terhadap Penanaman Modal Asing di Indonesia. Jakarta: Jurnal BPPK
  • Ningrahayu; 2010. Praktik Penghindaran Pajak oleh Foreign Direct Investment Berbentuk Perseroan Terbatas Penanaman Modal Asing. Jakarta: Jurnal Ilmu Administrasi Negara

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun