Mohon tunggu...
andri muhammad
andri muhammad Mohon Tunggu... serikat pekerja seluruh indonesia -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

terserah

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Mari, Bijak Bermedsos

22 November 2018   18:30 Diperbarui: 22 November 2018   18:38 584
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dunia kita hari ini begitu berbeda dengan masa 10 atau 20 tahun sebelumnya. Bila dulu sebagian besar orang hidup dalam lokalitasnya masing-masing, dalam arti informasi --tak ada piranti penyebar berita skala luas, maka mustahil kita jumpai itu sekarang. Mau tidak mau, kita hidup dalam tempurung yang saling terkoneksi hari ini. Alhasil, kita bisa mengetahui sebuah peristiwa di belahan dunia lain sana, yang mungkin berjarak ribuan mil, hanya dalam satu genggaman. Juga berkomunikasi virtual tanpa mengetahui wujud fisiknya.

Hadirnya teknologi informasi dan komunikasi, diakui atau tidak, benar-benar mengubah lanskap kehidupan dunia. Piranti berteknologi tinggi yang menjelujur di semua lekuk kehidupan telah mengguncang tatanan yang lebih besar, baik dalam domain hukum, sosial-budaya, ekonomi, maupun politik. Hal itu membawa konsekuensi pada banjirnya informasi di hadapan publik.

Betapa tidak, media arus utama sekarang bisa memproduksi hingga 400 hingga 2.500 berita per hari karena fasilitas internet hari ini. Itu baru satu kantor berita, bayangkan bila dalam satu negara terdapat 100 kantor berita. Maka publik akan (dipaksa) menerima informasi sebanyak 100 kali lipat dari jumlah di atas. Tak hanya itu, media sosial lebih gila lagi.

Konon ada 6.000 twit di Twitter setiap detiknya. Sementara Facebook, media sosial paling populer di Indonesia, memproduksi 293.000 status setiap 60 detik. Ada 2,2 miliar orang di seluruh dunia aktif setiap hari di media sosial buatan Mark Zuckerberg itu. Jangan lupakan video, dimana setiap menit terdapat 300 jam video diunggah ke Youtube (Kompas, 2018).

Disadari atau tidak, informasi kini mengalir bak air bah. Banjir. Luber, melebihi kemampuan kita untuk menyerapnya. Segala informasi itu bahkan kini datang mengunjungi ruang-ruang personal kita di layar ponsel dan laptop, menyusup dalam pesan broadcast di Whatsapp atau Line. Cilakanya, kita sering kali tidak tahu apakah informasi yang datang benar atau salah. Era banjir informasi sekaligus juga merupakan era ketidakpastian informasi.

Bila suasana banjir informasi ini disusupi dengan fitnah, kabar bohong, atau ujara kebencian yang sistematis, maka kita akan mengalami suatu tsunami yang tak kalah dahsyatnya, yakni tsunami ketidak-benaran. Ini lebih merusak lagi. Dalam bahasa agama inilah yang disebut dengan zaman fitnah, dimana antara fakta dan fiksi hanya berbeda setipis kertas.

Kita tentu masih ingat berita beberapa waktu lalu, dimana seorang pria di Tanjung Pinang, Bangka Belitung, harus meregang nyawa karena dikeroyok oleh puluhan orang. Musababnya pria tersebut dianggap sebagai penculik anak. Informasi mengenai itu berasal dari informasi hoaks yang disebarkan oleh beberapa orang.

Tak sekali itu, informasi hoaks bisa membawa celaka bagi orang lain. Beberapa bulan lalu, seorang perempuan di Tanjung Balai Sumatera Utara terpaksa mendekam di penjara karena dituduh menista agama, plus diikuti dengan pembakaran tempat ibadahnya. Awal mulanya, dia hanya meminta speaker masjid dikecilkan. Bukan melarang adzan, yang akhirnya memantik emosi massa tersebut.

Baru-baru ini, jajaran Direktorat Tindak Pidana Siber Badan Reserse Kriminal (Dittipidsiber Bareskrim) juga menangkap pengunggah hoaks tentang operasi Tentara Nasional Indonesia (TNI) menangkap 110 juta warga negara China yang membuat Kartu Tanda Penduduk elektronik (e-KTP). Pelaku berinisial SY, warga Kecamatan Banjaran, Kabupaten Bandung,

Sebelumnya, hoaks itu disebarkan lewat sebuah akun di media sosial Youtube dengan judul "110 JUTA e-KTP di BIKIN Warga Cina siap kalah kan Prabowo DI TANGKAP TNI kemana POLRI YA". Hoaks yang diunggah pelaku ini sudah ditonton sebanyak 93.000 kali dan dapat menyebabkan kesalahpahaman di masyarakat.Langkah ini adalah antisipasi pihak kepolisian agar informasi hoaks tidak membawa kerusakan yang besar di masyarakat.  

Menanggapi larisnya informasi hoaks di media massa dan online seperti itu, kalangan intelektual kembali mengangkat suatu istilah yang disebut sebagai post-truth (pasca kebenaran). Istilah itu merujuk pada kondisi di mana fakta tidak terlalu berpengaruh dalam membentuk opini publik dibanding emosi dan keyakinan personal. 

Lebih jauh lagi, informasi-informasi hoaks itu memiliki pengaruh yang jauh lebih besar ketimbang fakta yang sebenarnya. Istilah ini telah menduduki kata paling populer di tahun 2016 lalu, seiring dengan naiknya Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, ke tampuk kekuasaan.

Melihat segala potensi 'merusak' dari perkembangan teknologi informasi di atas, kita hanya bisa bersandar pada manusianya. Teknologi informasi di atas hanyalah piranti saja, pelakunya tetap manusia. Oleh karenanya, kita tak bisa menyalahkan perangkatnya tanpa memperbaiki kualitas manusianya. Bijak dalam bermedia sosial adalah kuncinya. Hanya ini satu-satunya cara mengantisipasi kehancuran peradaban karena fenomena banjir informasi dan kabar bohong.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun