Dalam setiap tujuan kehidupan kami, kami selalu melibatkan alam. Dalam setiap unsur kehidupan kami, kami selalu menghadirkan unsur alam. Alam hadir dalam setiap alur kehidupan kami, karena kami hidup untuk alam. Dan, setiap pencapaian dalam kehidupan kami, kami tentunya tidak lupa dengan alam.
Seba, salah satu cara kami menghargai alam atas apa yang telah alam beri dan limpahkan ke kami. Seba bukan sekedar momentum bagi kami, tapi lebih dari itu. Seba adalah identitas kami, dan kami adalah Baduy.
Seba, sebuah ritual yang dilaksanakan setiap tahun, dan mengikuti penanggalan suku Baduy. Secara harfiah, Seba berarti 'seserahan'. Yang menjalankan ritual Seba ini hanya para lelaki suku Baduy.
Dalam ritual ini, seolah tidak ada batas antarmereka. Kubu luar dan kubu dalam yang dalam keseharian dipisahkan dalam aturan adat, pada ritual ini seolah luntur. Hanya warna pakaian yang membedakan mereka. Selain itu, mereka menyatu. Mereka jalan bersama, duduk bersama, dan bercengkerama bersama dalam satu kesempatan.
Ribuan orang berjalan bersama dari desa mereka masing-masing menuju satu titik dengan tujuan dan ambisi yang sama. Mengucap syukur dan berbagi atas apa yang telah mereka tuai dalam pertanian. Prosesi Seba ini bukan hal yang dilakukan dalam waktu singkat.
Diawali dengan berpuasa pada tiga bulan sebelum mereka melakukan ritual Seba, yang disebut kawalu. Puasa yang ditentukan oleh ketua adat mereka, dan dengan ketentuan adat yang mereka percayai selama ini. Kemudian dilanjutkan dengan ritual ngalaksa, yaitu saling mengunjungi tetangga dan kerabat mereka. Yang pada akhirnya, proses panjang itu akan bermuara pada ritual Seba.
Tahun ini, Seba dilaksanakan pada tanggal 4 Mei 2019. Tanggal tersebut merupakan puncak ritual Seba, yang dipusatkan di kantor Bupati Lebak. Kemudian, ritual ini dilanjutkan pada tanggal 5 Mei 2019 dengan model yang sama, namun lokasinya berbeda, yaitu di kantor Gubernur Banten.
Ritual ini tidak hanya dilaksanakan dalam satu hari. Untuk acara intinya saja setidaknya membutuhkan waktu kurang lebih satu minggu lamanya, mulai dari persiapan perlengkapan ritual hingga pelaksanaan ritual inti.
Sorak-sorai warga Lebak dan sekitarnya mulai meramaikan lokasi berlangsungnya ritual Seba ini, mulai dari pagi hari. Banyak dari mereka yang menggunakan pakaian khas suku Baduy, yang didominasi oleh warna hitam dengan tambahan aksen batik berwarna biru-hitam, membuat suasana semakin semarak.
Ditambah lagi dengan hadirnya perwakilan siswa SMK yang berbaris rapi di sisi jalan dengan yel-yel sambutan yang sudah mereka siapkan. Mereka berpakaian hitam dengan ikat kepala khas suku Baduy. Identitas mereka sebagai seorang pelajar tampak dari bawahan seragam abu-abu yang mereka gunakan.
Waktu terus berjalan, pagi berganti siang, dan siang berganti sore. Riuh suara warga semakin lama semakin ramai, dan terdengar samar dari kejauhan suara sirine kendaraan polisi. Para warga mulai mengarahkan perhatian dan pandangan mereka ke salah satu ujung jalan. Jalan tersebut adalah jalan yang dilalui rombongan Baduy untuk sampai ke tempat utama ritual Seba. Sekitar pukul setengah empat sore, rombongan Baduy tiba di sekitar alun-alun Rangkasbitung. Masyarakat yang hadir, kompak mengangkat ponsel dan kamera mereka tinggi-tinggi, demi mengabadikan momen tibanya masyarakat Baduy yang sudah mereka nantikan.
Rombongan diawali oleh beberapa polisi bermotor yang bertujuan untuk membuka akses jalan, kemudian diikuti oleh beberapa orang berkuda, yang di belakangnya diikuti oleh rombongan bertombak, dan tiga orang pengiring musik dengan instrumen berupa gong kecil yang ditabuh dengan tempo sedang.
Beberapa langkah di belakang penabuh gong tersebut, barulah tampak ribuan masyarakat Baduy berbaris rapi dengan ekspresi siap melaksanakan ritual ini. 1.035 masyarakat Baduy jalan bersama. Tua, muda, dan anak-anak semua bercampur dan membaur dalam satu barisan, yang di sisi kanan dan kirinya dikawal oleh anggota TNI yang menggunakan ikat kepala khas suku Baduy pula. 1.035 jiwa terdiri dari 13 masyarakat Baduy Dalam (6 orang dari desa Cikesik, 4 orang dari desa Cibeo, dan 3 orang dari desa Cikartawana), dan sisanya adalah masyarakat Baduy Luar.
Kemeriahan prosesi jalan tersebut semakin terasa dengan adanya lima rampak gendang yang terdapat di depan Perpustakaan Saidjah Adinda, yang dengan kompaknya mengiringi perjalanan masyarakat Baduy menuju titik pemberhentian mereka. Sekitar lima belas menit arak-arakan tersebut berlangsung, akhirnya berujung di depan gerbang kantor Bupati Lebak.
Di sana, masyarakat Baduy diterima dan disambut langsung oleh Wakil Bupati Lebak. Setelah penyambutan tersebut, mereka diajak masuk ke dalam kompleks perkantoran, tepatnya, di pendopo kantor bupati. Pendopo yang dibangun pada tahun 1925 tersebut menjadi lokasi ritual Seba yang akan dilaksanakan pada pukul delapan malam.
Kehadiran mereka di pendopo tersebut menarik perhatian warga dan wisatawan yang bertandang untuk lebih dekat dan lebih mengenal masyarakat Baduy. Kami saling bercengkerama, berbicara, bercanda, dan tertawa di bawah atap yang sama. Hujan yang turun kala itu, bukan menjadi penghalang bagi kami untuk mengenal mereka lebih jauh.
Justru, hujan menjadikan suasana tersebut semakin hangat dan kami larut dalam suasana. Kami menghujani mereka dengan berbagai pertanyaan dari berbagai sisi. Namun, masyarakat Baduy tetap tampak senang dan terbuka menjawab pertanyaan dan menceritakan kehidupan mereka kepada kami. Bayangan kami tentang mereka adalah suku yang tertutup, perlahan sirna.
Sore berganti senja, dan hari mulai gelap. Ritual utama semakin dekat. Sebelum prosesi tersebut dimulai, masyarakat Baduy menikmati makan malam yang sudah disiapkan oleh panitia terlebih dahulu.
Hidangan makan malam berupa nasi, dengan lauk utama ayam tersebut dikemas dalam wadah anyaman bambu, yang semakin menunjukkan kesan etnik dan tradisional. Makan malam mereka lalui dan nikmati bersama-sama. Mereka membentuk kelompok-kelompok kecil dan mereka duduk di dalam satu kelompok tersebut. Kesan yang saya dapat saat mengamati mereka makan, yaitu guyub dan kompak.
Di luar acara makan malam bersama tersebut, ada berbagai kegiatan yang berlangsung dalam waktu yang bersamaan, seperti adanya persiapan pergelaran wayang golek di Aula Multatuli. Selain itu, di luar kompleks perkantoran bupati, terdapat berbagai bazar yang menjual olahan makanan dan minuman, hingga kebutuhan sandang. Jelas, dengan adanya acara-acara tersebut, menunjukkan bahwa kegiatan ini untuk semua, bukan untuk kelompok tertentu.
Yang ditunggu tiba, waktu ritual Seba dimulai. Masyarakat Baduy duduk bersila di tengah suasana hikmatnya acara. Bupati Lebak, Ibu Iti Octavia Jayabaya beserta jajarannya telah hadir di tengah masyarakat Baduy. Suasana hikmat membalut ritual inti. Inti ritual ini, berupa penyerahan hasil bumi yang telah mereka tuai, berjalan lancar.
Selain itu, terdapat juga dialog antara masyarakat Baduy dengan para petinggi Lebak. Ada pesan yang mereka sampaikan dalam dialog tersebut, masyarakat Baduy berharap agar bisa saling bersinergi, menyatu antarsesama, dan saling menjaga alam. Ketiga pesan tersebut yang menjadi amanat dan harapan dari masyarakat Baduy kepada pemerintah pada khususnya, dan masyarakat luas pada umumnya.
Momentum utama yang berlangsung singkat tersebut berakhir sekitar pukul setengah sembilan malam. Setelah ritual Seba tersebut usai, perlahan masyarakat Baduy mulai meninggalkan pendopo untuk menikmati acara-acara lain yang diselenggarakan.
Ditemani kain sarung hitam bermotif kotak-kotak sederhana dengan aksen biru muda di bagian pangkal sarungnya yang mereka bawa, satu per satu pergi ke luar dan menikmati malam. Banyak dari mereka yang ke luar adalah para pemudanya. Mungkin jiwa dan naluri muda mereka keluar saat itu, untuk mengeksplorasi hal-hal yang jarang mereka temui dalam keseharian mereka. Namun, ada pula yang tetap bertahan di pendopo, memilih untuk bercengkerama antarsesama, atau larut dalam gelapnya malam.
Malam semakin larut, waktu menunjukkan hampir tengah malam, satu per satu masyarakat Baduy yang ada di luar area kantor bupati, mulai kembali. Mereka mulai ambil dan atur posisi untuk tidur, beralas tikar hijau, dan menggunakan bantal dari tas yang mereka bawa. Setidaknya ada tiga jenis tas yang mereka gunakan untuk membawa perlengkapan mereka, dan beberapa ada yang menggunakannya sebagai alas kepala mereka untuk tidur.
Pertama, tas koja yang berasal dari anyaman kulit kayu yang dipilin menyerupai tali, yang kemudian tali tersebut dirajut dan disimpul. Lalu ada tas gondangan yang berbahan kain putih, yang disimpul setiap ujungnya, sehingga tas ini menyerupai tas ikat. Terakhir, tas kepek yang merupakan tas berbentuk kotak, yang terbuat dari bahan kulit kayu yang keras. Dengan alas tidur yang seadanya tersebut, mereka tetap bisa tidur nyenyak.
Serang, tepatnya ke lokasi ritual Seba yang kedua, yaitu di kantor Gubernur Banten. Mereka jalan saat pagi buta agar bisa sampai tepat waktu atau berbarengan dengan tibanya kerabat Baduy Luar mereka yang menuju Serang menggunakan bus.
Di sela tidur mereka, ternyata ke-13 masyarakat Baduy Dalam harus bangun jauh lebih awal dari kerabat Baduy Luar mereka. Jam menunjukkan pukul setengah tiga subuh. Mereka harus menyudahi istirahat mereka karena harus bergegas jalan kembali keMatahari terbit, satu per satu masyarakat Baduy Luar bangun dari tidur mereka. Rasa lelah setelah seharian menjalani prosesi Seba sepertinya terbayar sudah. Kesegaran tampak dari wajah mereka.
Tidak lama, sekitar pukul enam pagi, mereka mendapat sarapan pagi dari penyelenggara. Mereka menikmati sarapan mereka dengan lahap. Tidak lama setelah mereka sarapan, mereka harus bergegas menuju Serang menyusul kerabat Baduy Dalam mereka yang sudah jalan terlebih dahulu menuju Serang. Dengan berangkatnya seluruh masyarakat Baduy menuju Serang, maka selesai sudah ritual Seba di Lebak ini.
Seba, bukan hanya dimaknai sebagai ritual untuk mengucap syukur atas hasil panen yang telah mereka tuai beberapa waktu ke belakang. Seba, untuk saat ini lebih dari itu maknanya.
Ritual ini bisa juga menjadi sarana silaturahmi antarsesama. Baik itu antara suku Baduy Dalam dengan Baduy Luar, suku Baduy dengan pemerintah, dan suku Baduy dengan masyarakat umum. Ini adalah momentum untuk saling mengenal satu sama lain, terutama bagi masyarakat umum yang ingin mengenal lebih jauh siapa suku Baduy yang sebenarnya.
Instagram: andrimam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H