Waktu terus berjalan, pagi berganti siang, dan siang berganti sore. Riuh suara warga semakin lama semakin ramai, dan terdengar samar dari kejauhan suara sirine kendaraan polisi. Para warga mulai mengarahkan perhatian dan pandangan mereka ke salah satu ujung jalan. Jalan tersebut adalah jalan yang dilalui rombongan Baduy untuk sampai ke tempat utama ritual Seba. Sekitar pukul setengah empat sore, rombongan Baduy tiba di sekitar alun-alun Rangkasbitung. Masyarakat yang hadir, kompak mengangkat ponsel dan kamera mereka tinggi-tinggi, demi mengabadikan momen tibanya masyarakat Baduy yang sudah mereka nantikan.
Rombongan diawali oleh beberapa polisi bermotor yang bertujuan untuk membuka akses jalan, kemudian diikuti oleh beberapa orang berkuda, yang di belakangnya diikuti oleh rombongan bertombak, dan tiga orang pengiring musik dengan instrumen berupa gong kecil yang ditabuh dengan tempo sedang.
Beberapa langkah di belakang penabuh gong tersebut, barulah tampak ribuan masyarakat Baduy berbaris rapi dengan ekspresi siap melaksanakan ritual ini. 1.035 masyarakat Baduy jalan bersama. Tua, muda, dan anak-anak semua bercampur dan membaur dalam satu barisan, yang di sisi kanan dan kirinya dikawal oleh anggota TNI yang menggunakan ikat kepala khas suku Baduy pula. 1.035 jiwa terdiri dari 13 masyarakat Baduy Dalam (6 orang dari desa Cikesik, 4 orang dari desa Cibeo, dan 3 orang dari desa Cikartawana), dan sisanya adalah masyarakat Baduy Luar.
Kemeriahan prosesi jalan tersebut semakin terasa dengan adanya lima rampak gendang yang terdapat di depan Perpustakaan Saidjah Adinda, yang dengan kompaknya mengiringi perjalanan masyarakat Baduy menuju titik pemberhentian mereka. Sekitar lima belas menit arak-arakan tersebut berlangsung, akhirnya berujung di depan gerbang kantor Bupati Lebak.
Di sana, masyarakat Baduy diterima dan disambut langsung oleh Wakil Bupati Lebak. Setelah penyambutan tersebut, mereka diajak masuk ke dalam kompleks perkantoran, tepatnya, di pendopo kantor bupati. Pendopo yang dibangun pada tahun 1925 tersebut menjadi lokasi ritual Seba yang akan dilaksanakan pada pukul delapan malam.
Kehadiran mereka di pendopo tersebut menarik perhatian warga dan wisatawan yang bertandang untuk lebih dekat dan lebih mengenal masyarakat Baduy. Kami saling bercengkerama, berbicara, bercanda, dan tertawa di bawah atap yang sama. Hujan yang turun kala itu, bukan menjadi penghalang bagi kami untuk mengenal mereka lebih jauh.
Justru, hujan menjadikan suasana tersebut semakin hangat dan kami larut dalam suasana. Kami menghujani mereka dengan berbagai pertanyaan dari berbagai sisi. Namun, masyarakat Baduy tetap tampak senang dan terbuka menjawab pertanyaan dan menceritakan kehidupan mereka kepada kami. Bayangan kami tentang mereka adalah suku yang tertutup, perlahan sirna.
Sore berganti senja, dan hari mulai gelap. Ritual utama semakin dekat. Sebelum prosesi tersebut dimulai, masyarakat Baduy menikmati makan malam yang sudah disiapkan oleh panitia terlebih dahulu.
Hidangan makan malam berupa nasi, dengan lauk utama ayam tersebut dikemas dalam wadah anyaman bambu, yang semakin menunjukkan kesan etnik dan tradisional. Makan malam mereka lalui dan nikmati bersama-sama. Mereka membentuk kelompok-kelompok kecil dan mereka duduk di dalam satu kelompok tersebut. Kesan yang saya dapat saat mengamati mereka makan, yaitu guyub dan kompak.
Di luar acara makan malam bersama tersebut, ada berbagai kegiatan yang berlangsung dalam waktu yang bersamaan, seperti adanya persiapan pergelaran wayang golek di Aula Multatuli. Selain itu, di luar kompleks perkantoran bupati, terdapat berbagai bazar yang menjual olahan makanan dan minuman, hingga kebutuhan sandang. Jelas, dengan adanya acara-acara tersebut, menunjukkan bahwa kegiatan ini untuk semua, bukan untuk kelompok tertentu.
Yang ditunggu tiba, waktu ritual Seba dimulai. Masyarakat Baduy duduk bersila di tengah suasana hikmatnya acara. Bupati Lebak, Ibu Iti Octavia Jayabaya beserta jajarannya telah hadir di tengah masyarakat Baduy. Suasana hikmat membalut ritual inti. Inti ritual ini, berupa penyerahan hasil bumi yang telah mereka tuai, berjalan lancar.