Mohon tunggu...
Andries Kooswinanto
Andries Kooswinanto Mohon Tunggu... Lainnya - Pensiunan

seorang pekerja sosial masyarakat yang khususnya peduli pada anak dan pernah melayani di Salatiga, Poso, Sumatra Barat, Rote Ndao, Flores Timur, Melawi, Tojo Una Una dan Parigi Moutong.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tu’u Pendidikan Rote

19 April 2010   05:39 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:43 620
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belza S Hayon bangga membaca SMS anaknya, Soli menceritakan bahwa ia akan menyelesaikan tugas akhir kuliahnya.

Balza S Hayon ( 35 th ) pendatang dari Alor yang beristri orang Rote sangat bersyukur saaat anaknya Soli Aryanti Hayon kelahiran 1986 bisa menyelesaikan SMA nya dan melanjunya ke perguruan tinggi.

Ia terkenang saat klas 1 SD Soli berkenalan dengan Yayasan Wahana Visi Indonesia Area Development Program Rote ( YWVI - ADP Rote = suatu yayasan social yang peduli terutama dalam kesejahteraan anak ) dan menjadi anak santunnya. Berkat  YWVI- ADP Rote lah Soli bisa menyelesaikan pendidikannya hingga SMA termasuk dukungan saat berkuliah di Kupang.

Beberapa tahun lalu anak pertama dari 6 bersaudara itu ingin melanjutkan sekolah keguruan di suatu Perguruan Tinggi  di kota Kupang.  Ia sadar orang tuanya yang tukang ojek dan ibunya yang membuka kios di depan rumah pasti tak akan mampu membiayainya. Namun tekadnya bulat dan Soli nekad mendaftar di Unkris Kupang dan tinggal di rumah keluarganya. Usahanya tak sia sia, Soli diterima di fakultas keguruan yang diinginkannya.

Pemborosan Pesta Adat Kematian dan Tu'u Belis

Banyak anak yang punya tekad seperti Soli namun tak semua bisa mewujudkan impiannya. Budaya Rote dalam pemborosan pesta adat kematian  sangatlah tinggi. Puluhan ekor sapi ( sampai 40 an ekor ) bisa dipotong untuk pesta kematian yang merupakan pemberian dari tetangga maupun kerabat yang merupakan hutang keluarga duka pada si pemberi. Belum terhitung hewan kecil seperti babi. Hal ini menjadikan hutang yang turun menurun.

Seperti halnya budaya Tu'u Belis pada upacara pesta kawin dimana si tuan pesta akan mengundang tamu dalam acara kumpul tangan dan si tamu akan memberi komitmen menyumbang sejumlah uang / hewan saat menjelang pesta nikah yang akan diselenggarakan.  Kemudian disajikan makanan dan pulangnya dibawakan potongan daging yang cukup besar. Dan jika pada saatnya pernikahan seperti yang direncanakan tuan pesta dan si tamu yang pernah memberi komitmen tak mampu memberikan sejumlah uang maka dikenakanlah sanksi adat. Dan inilah yang merupakan hutang turun menurun karena pesta adat kematian maupun pesta pernikahan tak hanya sekali saja dalam setahun. Belum lagi tu'u untuk membangun rumah, membeli motor, dan  hal konsumtif lainnya.

Masalah Tu'u Belis ternyata tidak sesederhana yang kita bayangkan. Tu'u Belis bisa berdampak pada kesenjangan ekonomi karena ada kelompok social yang bisa memanfaatkan keuntungan dari situasi tersebut selain bisa berakibat masyarakat saling behutang. Kondisi ini masih ada di sebagian besar masyarakat Rote sehingga bukan tak mungkin terjadi kemiskinan bersama ( shared poverty ). Kerja keras masyarakat hanya untuk membayar hutang secara turun menurun

Revitalisasi Budaya

John Ndolu ( 48 tahun ) staf YWVI-ADP Rote yang kemudian terpilih menjadi "Maneleo" atau raja kecil di Leo Kunak memahami dampak dari budaya pemborosan itu. John Ndolu yang terbuka wawasannya karena berbagai pelatihan yang didapat akhirnya berusaha memodifikasi budaya dan bukan menghapusnya.

Tak henti-hentinya dia berusaha mensosialisasikan pentingnya hidup hemat sehingga tak ada hutang yang turun menurun. Akhirnya Leo Kunak menyepakai untuk penyederhanakan pesta adat kematian dan tu'u belis. Tak perlu memotong sedemikian banyak hewan korban. Hewan yang dipotong secukupnya saja saat pesta ucapan syukur kematian.  Dan saat adat kumpul tangan yaitu mengumpulkan kerabat cukup menyajikan kue saja sehingga terjadi penghematan besar.

Memang belum semua Maneleo menerapkan revitalisasi budaya seperti yang John Ndolu lakukan. Masih banyak Leo lain yang tetap mempertahankan budaya yang cenderung mengarah pada pemborosan tsb.

Alasannya adalah melestarikan nilai adat namun di balik itu semua sebenarnya ada alasan ekonomi. Mereka sudah terlanjur menyertakan uang mereka dalam Tu'u dan mereka ingin mendapatkan kembali uang tersebut. Mereka ingin Tu'u harus tetap berjalan hingga uang mereka kembali.

Ada juga alasan yang bersifat moral yaitu mereka sudah terlanjur menikmati uang orang lain atau bahkan leluhurnya menikmati uang orang lain sehingga berpesan pada anak-anaknya agar membayar hutang mereka

Tu'u Pendidikan

John Ndolu sebagai staf YWVI-ADP Rote yang selalu peduli pada anak akhirnya melihat peluang juga untuk mewujudkan impian anak-anak Rote yang hidup dengan keterbatas ekonomi untuk melanjutkan kuliah. Ia inginkan bahwa generasi Profesor Herman Johanes ataupun Adrianus Mooy akan terus berlanjut.

Akhirnya timbul idenya untuk menjadikan Tu'u Belis menjadi Tu'u Pendidikan di Leo yang dia pimpin. Metodenya sama namun tu;u pendidikan bersifat sumbangan suka rela dan tidak dicatat sebagai hutang. Merupakan ssitem kepedulian social untuk mengangkat anak Rote ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Uang yang terkumpul saat tu' u pendidikan akan dimasukkan ke bank dan hanya bisa diambil oleh orang tua dan si Manileo setelah ada bukti kuitansi pembayaran kuliah. Artinya tak bisa uang hasil tu'u pendidikan akan disalahgunakan untuk kepentingan konsumtif karena ada control dari Manileo.. Andai si anak DO kuliah maka uang sisa tu'u pendidikan harus dikembalikan ke kas Manileo dan akan digunakan untuk membiayai anak yang kuliah lainnya.

Soli adalah salah satunya dia merupakan salah satu dari 10 orang ( 4 perempuan dan 6 laki laki ) Rote dari Leo Kunak yang mendapat berkat dari Tu'u Pendidikan.

Saat Balza S Hayon ayah Soli mengundang kerabatnya di Leo Kunak sekitar 200 orang untuk Tu'u Pendidikan dengan pemberian paling sedikit Rp 10.000,- maka didapatlah lebih dari Rp. 10.000.000,- jumlah yang cukup membantu untuk

melanjutkan kuliah anakknya pada beberapa tahun yang lalu.

Penutup

Revitalisasi Budaya yang dilakukan ADP Rote bukan untuk menghapus budaya luhur Rote namun menyederhanakan untuk penghematan  dan memotong rantai kemiskinan yang diakibatkan oleh hutang turun menurun sehingga kebutuhan anak terutama hak mendapatkan pendidikan tinggi terpenuhi.

Upaya ini belum berakhir dan masih akan terus diupayakan sehingga terjadi revitalisasi budaya di seluruh  Bumi Ti'I Langga ...........

Ba'a, April 2010

Andries Kooswinanto

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun