Catatan ini akan terlalu haru untuk dikenang dikemudian waktu, sudut hitam yang mengajakku terus berlari lebih dalam, menjauhi cahaya yang semestinya ku peluk guna kehangatan yang menenangkan.Â
Mesin waktu tua itu terus berputar dan aku masih dalam lingkaran yang sama seperti yang dulu, berputar mengelilingi asa yang buruk, memuja kebusukan yang diindahkan seakan semuanya hal yang lumrah, perlahan mereka menggerogoti setiap celah otak untuk memudarkan rasa berani menghadapi kawanan sosial berstrata.
Mencoba merasa untuk tidak merasakan, detakan jantung yang berdebar tidak beraturan, mengunci setiap inci kegelisahan yang memang sebenarnya tidak mempunyai makna khusus untuk dijadikan pembelajaran.Â
Proses lambat menjadi baru, ragu memburu menyayat setiap lajur jalan kembali. Seperti matahari yang sungguh terik disiang ini, menyengat merah merekah. Bermuatan amarah. Setelahnya memang sungguh sangat cemas.
Disepertiga malam saat sejenak terlelap bergelantungan air mata turun bersahaja, ribuan sosok luka mengintip dibalik jendela, menatapku tanpa ragu menuntunku menjauhi tenang.Â
Pertemuannya itu tidak di temukan tapi saling menemukan, malam yang sungguh melankolia. Jika diingat ingat ternyata aku masih lupa bagian mana yang hilang, tenggelam ditelan malam menuju subuh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H