Mohon tunggu...
andries christian
andries christian Mohon Tunggu... Freelancer - astronaut kucing

Membuat catatan dikala sedang sendu yang dimana tulisan ini disponsori oleh karena sakit hampir selama 3 bulan sehingga ga bisa kemana-mana, akhirnya punya banyak waktu lebih untuk menulis sambil tiduran, Jangan terlalu serius menanggapi tulisan ini, didalamnya mengandung muatan hiperbola sehingga jangan terlalu diberi makna.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Buih Serapah

26 Oktober 2019   07:51 Diperbarui: 26 Oktober 2019   07:56 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Entah bagaimana semuanya semaunya. mempunyai makna tanpa mendiskreditkan sang maha pemilik segalanya. suasana langit sendu selalu mendukungku bercumbu dengan resah yang ambigu. Masalah yang diciptakan begitu sempurna bersarang di otak kanan, entah untuk apa berada didunia ini. 

Ketika yang diinginkan hanya ketenangan yang tidak pernah menjadi suatu tenang yang nyata. Dan kemudian mulai merasa gila ketika fajar mengetuk pintu rumah, kebingungan yang berputar-putar ketika terbangun. 

Kadang tergeletak pertanyaan mengapa terbangun? Untuk apa terbangun? Ketika terbangun membuat resah dan takut yang begitu dalam tentang seperti apa menjalani hidup.

Rasanya belum menemukan kata atau kalimat yang mempunyai makna sempurna untuk menggambarkan kondisi seperti ini, berselancar melalui leksikon super cerdas mahakarya Larry Page. Mencari arti dari kondisi seperti bernafas tapi tidak hidup. Perjalanan yang selalu menimbulkan pertanyaan kenapa dan mencari jawaban apa. 

Disela kekosongan pikiran yang terlintas kalimat yang kubaca dari seorang Ry Dimana sebagian dari diriku mati. Aku mati rasa. Jiwaku mati. Adakah kematian yang lebih menakutkan dari jiwa yang mati dalam raga yang hidup?.

Detakan yang berdetak begitu cepat namun nampak ragu seketika menghunus setiap rencana langkah, membuat tertunduk lesu tidak ada tujuan menjalani hidup. bersembunyi dibalik jendela kamar seolah semesta mengurung dan menghakimi. 

Seseorang yang mencari pembenaran tentang mengapa ia hidup, bernafas dan bertemu orang-orang super ekstropert dengan jutaan kalimat berbuih, berjalan keluar rumah seperti berjalan ke lain dimensi, begitu asing terlihat.

Terantai dalam dimensi yang sangat asing, dunia yang seharusnya hidup. Entah kenapa hanya ada sentuhan ragu yang terus bersarang dalam benak. Bersama sendu, hitam dan putih menjadikan setiap detik yang terus menerus menghimpit atas nama luka yang terus menganga terus berserapah dan terpatri dalam hati dan menjadi lebam.

Memejamkan mata di bawah langit yang nampak pucat. Berjalan terseok dan kadang terhenti menepi ditrotoar jalan yang nampak lenggang. Pilihannya memilih berhenti atau berhenti memilih. 

Selalu ada beberapa hal yang berkaitan dimana hujan, rumah, kaktus, dan kepergian saling menyapa. Petikan rindu yang memecah kalbu, berada dipersimpangan memilih diam sejenak sekedar menghela nafas, melepas dahaga yang tak kunjung reda. 

Ketika hujan telah menggenang sebagian kenangan, meraih beberapa memori masa lalu, menggalinya kembali, memunculkannya ketanah, berduri bermekaran, lalu berguguran berserakan dihalaman rumah dengan ragam semut beriringan merekam jejak setiap episode pertama kehidupan.

Catatan ini akan terlalu haru untuk dikenang dikemudian waktu, sudut hitam yang mengajakku terus berlari lebih dalam, menjauhi cahaya yang semestinya ku peluk guna kehangatan yang menenangkan. 

Mesin waktu tua itu terus berputar dan aku masih dalam lingkaran yang sama seperti yang dulu, berputar mengelilingi asa yang buruk, memuja kebusukan yang diindahkan seakan semuanya hal yang lumrah, perlahan mereka menggerogoti setiap celah otak untuk memudarkan rasa berani menghadapi kawanan sosial berstrata.

Mencoba merasa untuk tidak merasakan, detakan jantung yang berdebar tidak beraturan, mengunci setiap inci kegelisahan yang memang sebenarnya tidak mempunyai makna khusus untuk dijadikan pembelajaran. 

Proses lambat menjadi baru, ragu memburu menyayat setiap lajur jalan kembali. Seperti matahari yang sungguh terik disiang ini, menyengat merah merekah. Bermuatan amarah. Setelahnya memang sungguh sangat cemas.

Disepertiga malam saat sejenak terlelap bergelantungan air mata turun bersahaja, ribuan sosok luka mengintip dibalik jendela, menatapku tanpa ragu menuntunku menjauhi tenang. 

Pertemuannya itu tidak di temukan tapi saling menemukan, malam yang sungguh melankolia. Jika diingat ingat ternyata aku masih lupa bagian mana yang hilang, tenggelam ditelan malam menuju subuh.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun