kebijakan yang berkaitan dengan pendidikan akan berdampak pada pengambilan keputusan oleh para pembuat kebijakan dalam bidang pendidikan, baik di tingkat nasional maupun daerah dan tingkat satuan pendidikan. Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia sebagai sebuah lembaga negara yang memiliki kewenangan untuk membuat sebuah kebijakan paling tinggi di indonesia tentunya sangat mempengaruhi eksitensi dan prosesi pendidikan yang diharapkan memiliki standar mutu yang layak di dalam lingkungan masyarakat dalam negeri maupun luar negeri. Kemudian keberadaan dewan perwakilan rakyat, dewan perwakilan daerah dan pemerintah pusat yang dipimpin oleh presiden dan seorang wakil presiden, jajaran kementerian, dan jajaran badan atau lembaga kelengkapan eksekutif negara adalah para pembuat kebijakan yang bisa mempengaruhi dunia pendidikan nasional.
Namun, khususnya pada tingkat nasional, para pengambil keputusan khusus masalah pendidikan di tingkat DPR RI adalah Komisi X DPR RI Presiden RI, dan Menteri Pendidikan. Sehingga, segala bentuk kebijakan pendidikan nasional yang dihasilkan oleh ketiga elemen ini akan mempengaruhi kebijakan pendidikan di seluruh daerah dan seluruh satuan pendidikan di Indonesia. Adapun, dengan peran pengambil kebijakan yang bisa mempengaruhi masalah pendidikan di tingkat daerah ialah DPRD dan Pemerintah Daerah (Pemda). Khususnya dalam masalah pendidikan, posisi Komisi E di DPRD dan Dinas Pendidikan di Pemda sangatlah berperan untuk memfasilitasi adanya pemberlakuan kebijakan pendidikan di tingkat daerahnya masing-masing yang didasari oleh peraturan perundang-undangan dari hasil permusyawaratan policy maker nasional.48 Akhirnya, keberadaan satuan pendidikan pun tak kalah pentingnya untuk membuat kebijakan pendidikan yang akan mempengaruhi fenomena pendidikan yang berlangsung di satuan pendidikannya masing-masing.
Sejarah Kurikulum di Indonesia
Kurikulum 1947, “Rentjana Pelajaran 1947” Kurikulum pertama yang lahir pada masa kemerdekaan memakai istilah dalam bahasa Belanda “leer plan” artinya rencana pelajaran, istilah ini lebih popular dibanding istilah “curriculum” 3 (bahasa Inggris). Perubahan arah pendidikan lebih bersifat politis, dari orientasi pendidikan Belanda ke kepentingan nasional. Sedangkan asas pendidikan ditetapkan Pancasila. Kurikulum yang berjalan saat itu dikenal dengan sebutan “Rentjana Pelajaran 1947”, yang baru dilaksanakan pada tahun 1950. Sejumlah kalangan menyebut sejarah perkembangan kurikulum diawali dari Kurikulum 1950. Bentuknya memuat dua hal pokok: (1) daftar mata pelajaran dan jam pengajaranya; (2) garis-garis besar pengajaran.
Pada saat itu, kurikulum pendidikan di Indonesia masih dipengaruhi sistem pendidikan kolonial Belanda dan Jepang, sehingga hanya meneruskan yang pernah digunakan sebelumnya. Rentjana Pelajaran 1947 boleh dikatakan sebagai pengganti sistem pendidikan kolonial Belanda. Karena suasana kehidupan berbangsa saat itu masih dalam semangat juang merebut kemerdekaan maka pendidikan sebagai development conformism lebih menekankan pada pembentukan karakter manusia Indonesia yang merdeka dan berdaulat dan sejajar dengan bangsa lain di muka bumi ini. Orientasi Rencana Pelajaran 1947 tidak menekankan pada pendidikan pikiran. Yang diutamakan adalah: pendidikan watak, kesadaran bernegara dan bermasyarakat. Materi pelajaran dihubungkan dengan kejadian sehari-hari, perhatian terhadap kesenian dan pendidikan jasmani.
Kurikulum 1952, “Rentjana Pelajaran Terurai 1952” Setelah “Rentjana Pelajaran 1947”, pada tahun 1952 kurikulum di Indonesia mengalami penyempurnaan. Kurikulum ini lebih merinci setiap mata pelajaran yang kemudian diberi nama “Rentjana Pelajaran Terurai 1952”. Kurikulum ini sudah mengarah pada suatu sistem pendidikan nasional. Yang paling menonjol dan sekaligus ciri dari kurikulum 1952 ini bahwa setiap rencana pelajaran harus memperhatikan isi pelajaran yang dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari. Silabus mata pelajarannya menunjukkan secara jelas bahwa seorang guru mengajar satu mata pelajaran, (Djauzak Ahmad, Dirpendas periode1991-1995).
Kurikulum 1964, “Rentjana Pendidikan 1964” Usai tahun 1952, menjelang tahun 1964, pemerintah kembali menyempurnakan sistem kurikulum di Indonesia. Kali ini diberi nama Rentjana Pendidikan 1964. Pokok-pokok pikiran kurikulum 1964 yang menjadi ciri dari kurikulum ini adalah bahwa pemerintah mempunyai keinginan agar rakyat mendapat pengetahuan akademik untuk pembekalan pada jenjang SD, sehingga pembelajaran dipusatkan pada program Pancawardhana4 , yaitu pengembangan moral, kecerdasan, emosional/ artistik, keprigelan, dan jasmani. Ada yang menyebut Panca wardhana berfokus pada pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya, dan moral. Mata pelajaran diklasifikasikan dalam lima kelompok bidang studi: moral, kecerdasan, emosional/artistik, keprigelan (keterampilan), dan jasmaniah. Pendidikan dasar lebih menekankan pada pengetahuan dan kegiatan fungsional praktis. 4. Kurikulum 1968 Kelahiran Kurikulum 1968 bersifat politis, mengganti Rencana Pendidikan 1964 yang dicitrakan sebagai produk Orde Lama.
Dari segi tujuan pendidikan, Kurikulum 1968 bertujuan bahwa pendidikan ditekankan pada upaya untuk membentuk manusia Pancasila sejati, kuat, dan sehat jasmani, mempertinggi kecerdasan dan keterampilan jasmani, moral, budi pekerti, dan keyakinan beragama. Dalam kurikulum ini tampak dilakukannya perubahan struktur kurikulum pendidikan dari Pancawardhana menjadi pembinaan jiwa pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Kurikulum 1968 merupakan perwujudan dari perubahan orientasi pada pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Kurikulum 1968 menekankan pendekatan organisasi materi pelajaran: kelompok pembinaan Pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Mata pelajaran dikelompokkan menjadi 9 pokok.
Djauzak menyebut Kurikulum 1968 sebagai kurikulum bulat. "Hanya memuat mata pelajaran pokok saja," . Muatan materi pelajaran bersifat teoritis, tidak mengaitkan dengan permasalahan faktual di lapangan. Titik beratnya pada materi apa saja yang tepat diberikan kepada siswa di setiap jenjang pendidikan. Isi pendidikan diarahkan pada kegiatan mempertinggi kecerdasan dan keterampilan, serta mengembangkan fisik yang sehat dan kuat.
Kurikulum 1975 Kurikulum 1975 menekankan pada tujuan, agar pendidikan lebih efektif dan efisien. latar belakangi lahirnya kurikulum ini adalah pengaruh konsep di bidang manejemen, yaitu MBO (management by objective) yang terkenal saat itu," Metode, materi, dan tujuan pengajaran dirinci dalam Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI), yang dikenal dengan istilah "satuan pelajaran", yaitu rencana pelajaran setiap satuan bahasan. Setiap satuan pelajaran dirinci menjadi : tujuan instruksional umum (TIU), tujuan instruksional khusus (TIK), materi pelajaran, alat pelajaran, kegiatan belajar-mengajar, dan evaluasi. Kurikulum 1975 banyak dikritik. Guru dibuat sibuk menulis rincian apa yang akan dicapai dari setiap kegiatan pembelajaran.
Kurikulum 1984, “Kurikulum 1975 yang disempurnakan”. Kurikulum 1984 mengusung process skill approach. Meski mengutamakan pendekatan proses, tapi faktor tujuan tetap penting. Kurikulum ini juga sering disebut "Kurikulum 1975 yang disempurnakan". Posisi siswa ditempatkan sebagai subjek belajar. Dari mengamati sesuatu, mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Model ini disebut Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau Student Active Leaming (SAL). Konsep CBSA yang elok secara teoritis dan bagus hasilnya di sekolahsekolah yang diujicobakan, mengalami banyak deviasi dan reduksi saat diterapkan secara nasional. Sayangnya, banyak sekolah kurang mampu menafsirkan CBSA. Yang terlihat adalah suasana gaduh di ruang kelas lantaran siswa berdiskusi, di sana-sini ada tempelan gambar, dan yang menyolok guru tak lagi mengajar model berceramah. Akhiran penolakan CBSA bermunculan.