Grup tersebut memainkan musik Hawaii, musik yang satu rumpun dengan keroncong (pada awalnya), karena sama-sama disemai oleh bangsa Portugis. Musik ini punya karakter yang kuat pada harmoninya, irama ukulelenya, dan timbre steel gitarnya. Dengan permainan slide yang lincah-lincah malas, steel gitar menjadi ujung tombak keberhasilan musiknya membangun kerangka suatu suasana.
Musik Hawaii punya tempat yang spesial bagi kuping saya. Rata-rata mungkin sudah paham, musik ini identik dengan penggambaran keteduhan, daerah tropis, pantai pasir putih, pohon kelapa, dan ombak lautan. Benang merahnya adalah adanya kecocokan ketika saya merasakan gejala membaui pantai ketika mendengar musik Hawaii. Saking penasarannya sama kondisi ini, saya sedikit mencari tahu fakta-fakta menariknya.
Bertemulah saya dengan istilah sinestesia, istilah di displin neurologis. Istilah ini ternyata ada juga di didisplin sastra, yaitu metafora berupa ungkapan yang berhubungan dengan suatu indra untuk dikenakan pada indra lain.
Dilansir dari Livescience, sinestesia berarti kondisi neurologis yang menyebabkan otak mengolah data dalam bentuk beberapa indera sekaligus. Informasi yang diterima tumpah tindih.Â
Konon, pengidap sinestesia akan dapat melihat warna pada suara (sebaliknya), mendengar suara sambil melihat bentuk, melihat warna pada bentuk, mencium aroma dari suara, mencicipi kata-kata, melihat ciri khusus waktu, tekstur yang menyebabkan emosi, dan lain sebagainya.
Menariknya lagi, kondisi ini langka, perbandingannya 1: 2000 orang. Lorde, Pharrel Williams, Hans Zimmer, Marlyn Monroe, konon juga pengidap sinestesia. Sekonyong-konyong saya langsung tertarik mengetes kondisi ini pada tubuh saya sendiri. "Wah bakalan seru nih", batin saya.
Saya mulai dengan mendengarkan musik yang berbeda, kali ini musiknya Ismail Marzuki. Ternyata indera penciuman saya tidak bekerja sama sekali, yang ada hanya penggambaran di imajinasi visual. Saya membayangkan melihat pahlawan sedang pamit perang, lalu beromantis sejenak dengan kekasih. Tidak ada bau.
Saya coba lagi pada musik Black Sabbath, juga tidak tercium sama sekali aroma musiknya. Yang ada sama, hanya imajinasi visual tentang kebrutalan memakan binatang hidup, pemuja setan, dan berbagai kengerian lain.Â
Saya tak menyerah, saya coba lagi. Terakhir, saya tercetus ide untuk mendengarkan suara knalpot di Youtube. Sebelumnya, saya fokuskan untuk membaui bensin, saya memejamkan mata, namun usaha saya juga gagal. Tidak ada bau bensin sama sekali. Yang ada bau keringat karena belum mandi.
Percobaan ini gagal. Saya tidak mengulanginya lagi. Saya coba menganalogikan secara sederhana/kasarane terhadap kondisi saya saat membaui musik tersebut.Â
Kondisi indera saya sebenarnya tidak bertumpang tindih seperti pengidap sinestesia, antara indera pendengaran dan indera penciuman baik-baik saja. Mungkin yang memproduksi bau pantai itu adalah sensor memori, merespon empirisnya, lalu kemudian otak mengimitasinya melalui imajinasi. Hanya imitasi, bukan gejala nyata.