Mohon tunggu...
Andri Asmara
Andri Asmara Mohon Tunggu... Musisi - Penulis

Musik adalah serpihan bebunyian surga yang jatuh ke dunia.

Selanjutnya

Tutup

Music Artikel Utama

Keranjingan Musik Pop

11 September 2019   11:33 Diperbarui: 15 September 2019   16:47 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi musik | unsplash.com/@spencerimbrockphoto

Terlahir di tahun 1994 membuat masa remaja saya ada di dekade 2000an. Sudah lumrah menjadi anak baru gede dekat dengan perkembangan tren, terutama dari segi konsumsi musik agar bisa dipandang sebagai cool-kids (cah mbois).

Media sosial secara daring belum ada saat itu, hanya mengandalkan TV dan radio untuk mendengarkan secara streaming. Tak lupa berkat merebaknya kaset & CD bajakan yang tak terhindarkan membuat saya terpapar musik pop dengan berbagai macam jenisnya.

Kakak saya sedikit berjasa dalam hal ini. Melalui walkman buluknya ia mencoba mengenalkan musik yang lagi in menurutnya. Teringat waktu itu lagu Sabtu Minggu milik Sandy Canester adalah lagu yang dikenalkannya.

Walaupun saya sendiri belum begitu paham dengan arti liriknya, saya menikmatinya. Usia saya dengan kakak terpaut 5 tahun. Otomatis perbendaharaan kata dan perkembangan nalar saya masih sedikit dan terbatas.

Saya mulai menaruh perhatian pada musik ini. Rajin mendengarkan siaran radio dan melihat chart terbaru di TV adalah kegiatan saya disela-sela belajar. Saya sering menipu orang tua dengan pura-pura belajar materi pelajaran sekolah dengan ditemani suara radio agar tidak bosan. Padahal yang saya lakukan adalah belajar menganalisa lagu yang diputar di radio dengan ditemani materi pelajaran sekolah agar terasa meyakinkan.

Masih kecil sudah bisa menganalisis? Santai, metode analisa saya saat itu sangatlah sederhana, dimulai dengan belajar membandingkan. Yaitu dengan mengidentifikasi perbedaan gaya lagu satu dengan yang lain, gaya musik band satu dengan yang lain.

Tak terpikir untuk mengkotak-kotakan musik, semua yang saya dengar, saya amati. Alhasil metode ini sedikit memantik pemikiran analisa yang lain, diantaranya adalah teori musik, yaitu belajar menganalisa progresi akor.

Kebetulan alm. bapak saya adalah guru musik sebuah SMP, jadi saya tidak sungkan-sungkan untuk bertanya perihal cara menganalisa progresi akor. Dilatihlah saya untuk belajar peka terhadap tegangan nada-nada yang beradu dan menebaknya dengan meraba sampai ketemu nada yang sama. Barulah saya paham ketika menimba ilmu di Sekolah Menengah Musik bahwa cara ini disebut solfegio.

Bagai bocah yang memecahkan sebuah misteri layaknya Conan Edogawa, saya ketagihan menebak akor. Lagu nasional, daerah, punk, pop, hingga sholawat saya coba untuk cari akornya. Namun beberapa lagu menemukan kendala karena akor yang diajarkan bapak terbatas.

Saat saya konsultasi ke bapak, yang ia lakukan adalah memberi tahu roots akord (dasar) saja. Padahal yang saya dengar lebih dari sekedar mayor/minor asli, terkadang terdapat tegangan nada lain yang beradu indah. Saya tidak puas, saya coba cari sendiri sampai dapat yang persis.

Kesenangan ini berdampak pada pertemuan saya dengan musik-musik yang lainnya. Karena bersumber dari radio dan TV, yang saya dengarkan kebanyakan adalah musik pop dalam negeri yang mainstream. Mulai dari Ungu, Nidji, Peterpan, D'Masiv, dan banyak lainnya. Mau tak mau mereka yang jadi sumber pembelajaran saya dalam memahami musik pada mulanya.

Dalam menyikapi musik pop, saya sedikit berbeda dengan kawan sepantaran saya waktu itu. Kebanyakan dari mereka menyukai musik pop berangkat dari lirik yang mengena di kehidupannya. Maklum, masa abg adalah masa dimana pubertas seorang anak lagi tumbuh-tumbuhnya. Mereka sedang merasakan gelisahnya jatuh cinta, pertama kali suka dengan lawan jenis, dan keinginan untuk mengekspresikan semua perasaannya.

Berbeda dengan saya yang mana lebih tertarik untuk mengkaji musiknya dulu, baru mau memahami makna liriknya. Terkadang saya tak perdulikan liriknya, selama musik itu saya sukai, saya mainkan. Disini saya mulai bisa memfilter musik yang menurut saya bagus bagi diri sendiri. Semenjak itu tidak semua lagu yang disajikan TV dan radio harus didengarkan.

Saya sudah mulai bisa memilah musik meskipun dengan perspektif yang sempit ini. Dan akhirnya sedikit tahu bahwa musik pop rata-rata terstruktur dari nada-nada repetitif yang ringan dicerna pendengaran dengan dibalut lirik yang digunakan oleh masyarakat sehari-hari.

Barulah menginjak masa putih abu-abu, dimana saya memang mengambil kejuruan musik, cakrawala ilmu terbuka. Tidak hanya mengenal musik pop, ada yang baru dikehidupan saya yaitu musik klasik. Musik yang dibuat oleh kaum intelek barat yang konon menjadi dasar ilmu musik secara global.

Tidak hanya itu, saya dicekoki jazz oleh teman baru. Jazz yang konon adalah musik bebas terencana, dimana kita sudah memetakan tema namun dituntut untuk berimprovisasi ini membuat penasaran untuk ingin dipahami. Dua musik ini akhirnya banyak merenggut kemesraan saya dengan musik pop.

Namun setelah negeri ini dihantam oleh masifnya skena indie yang berbalik menjadi sebuah ke-mainstream-an, musik pop merangkul saya kembali secara mesra. Menurut saya skena indie sekarang terlalu banyak upaya peng-eksklusifan selera dan dikotomi genre. Mungkin juga karena telinga saya sedikit capek mendengarkan ke-snobis-an mereka dalam mengemas "dagangannya".

Musik menjadi tidak lagi mandiri, karena dibungkus dalam gimmick-gimmick pengantar seperti konsep artistik dan issue budaya populer selain musik. Ini menyebabkan menyempitnya persepsi kita dalam mendengarkan sebuah musik. Ujung-ujungnya yang mereka tawarkan juga tidak jauh dari esensi musik pop. Saya jadi disibukkan dengan memahami konsepnya, bukan inti dari musiknya.

Mungkin juga karena musik pop begitu pure sebagai hiburan, musik yang ringan, lirik tentang patah hati dan jatuh cinta, tidak ada gimmick, tingkat kepuitisan biasa saja, tidak muluk-muluk, dan tidak ada konsepsi lain untuk mendengarkan. Yang bagus keliatan bagus, yang seadanya juga keliatan seadanya. Tanpa ada ke-snobis-an diantara kami. Yang patah hati meraung-raung menangisi lirik ngenesnya. Yang jatuh cinta juga buta oleh lirik gombalannya yang klise.

Namun fenomena ini saya tidak kaitkan dengan pola industri musiknya. Karena melihat apa yang terjadi sekarang, baik indie maupun jalur mayor label sudah tidak zaman lagi untuk dibedakan. Semuanya menjadi bagian dari industri, hanya cara berjualannya yang beda. Yang saya fokuskan adalah bagaimana musik pop selalu hadir dengan segala kekliseannya namun selalu bisa beradaptasi dengan perkembangan zaman.

Saking dekatnya musik pop dengan pendengar membuat mereka rawan untuk disepelakan, dihina, dan di-diskriminasi secara estetika. Mereka seolah hanya barang dagangan yang dijual untuk meramaikan pasar. Menurut saya tidak semua musik pop se-remeh itu. Semua itu tergantung siapa pencipta dan musisi pemainnya.

Tidak semua lagu sederhana itu mudah, dan tidak semua lagu rumit itu sulit untuk dibuat dan dimainkan. Dan zaman sekarang musik adalah milik semua orang, tidak ada sekat eksklusif diantara kita. Yang membedakan hanya tingkat pemahaman musik tiap orang berbeda, karena latar belakang tiap orang tidak selalu mengantongi ilmu musikologi dan tafsir estetika. 

Andy Warhol telah memperjuangkan konsep Pop Art mulai dari tahun 1960. Dengan konsep dan gayanya, ia mendobrak konsep konservatif sebelumnya yang mana menikmati karya seni adalah milik orang elit dan dikemas eksklusif.

Ia sengaja memperbanyak hasil karya seninya agar semua orang bisa menikmati. Ini adalah tonggak sejarah kemerdekaan interpretasi terhadap karya seni yang awalnya dimulai oleh seni rupa lalu menjalar ke musik.

Balik lagi soal musik, menurut saya baiknya tidak ada dikotomi estetika dan peng-kotak-an genre. Sejarah mencatat, pada zaman romantik di Jerman muncul aliran Sturm und Drang yang mana isinya membicarakan soal percintaan itu begitu populer dan menjadi tolak ukur perkembangan musik pop sampai sekarang.

Namun jangan lupa, di abad 19 di Indonesia sudah ada Tembang Macapat milik Ronggowarsito yaitu Serat Kalatidha menjadi tonggak munculnya musik protes, yang mana gaya ini sering dipakai di musik indie. Ini menarik, karena semua ada sisi historis dan keindahannya sendiri-sendiri.

Tidak ada yang lebih spesial atau diistimewakan antara musik satu dengan lainnya. Tidak ada musik bagus dan tidak bagus. Semua hanya menyangkut soal selera dan kemampuan interpretasi masing-masing. 

Musik pop adalah keniscayaan untuk saya yang sudah paham keterbatasannya. Musik pop akan selalu ada menemani hari-hari sibuk kita. Dia akan hadir dengan segala kekliseannya yang akan mengimbangi hidup kita yang sudah berat.

Letupan-letupan ringannya akan membawa kita sejenak melupakan persoalan hidup yang terlampau kompleks. Kita tidak usah repot-repot menerka apa maksudnya. Yang patah hati mari menangis bersama, resapi lirik itu. Dan yang jatuh cinta saya ucapkan selamat untuk anda, karena musik pop ini bisa menjadi kode ke pasangan ketika kata-kata sudah tak mampu lagi terucap.

-Andri Asmara-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun