Andy Warhol telah memperjuangkan konsep Pop Art mulai dari tahun 1960. Dengan konsep dan gayanya, ia mendobrak konsep konservatif sebelumnya yang mana menikmati karya seni adalah milik orang elit dan dikemas eksklusif.
Ia sengaja memperbanyak hasil karya seninya agar semua orang bisa menikmati. Ini adalah tonggak sejarah kemerdekaan interpretasi terhadap karya seni yang awalnya dimulai oleh seni rupa lalu menjalar ke musik.
Balik lagi soal musik, menurut saya baiknya tidak ada dikotomi estetika dan peng-kotak-an genre. Sejarah mencatat, pada zaman romantik di Jerman muncul aliran Sturm und Drang yang mana isinya membicarakan soal percintaan itu begitu populer dan menjadi tolak ukur perkembangan musik pop sampai sekarang.
Namun jangan lupa, di abad 19 di Indonesia sudah ada Tembang Macapat milik Ronggowarsito yaitu Serat Kalatidha menjadi tonggak munculnya musik protes, yang mana gaya ini sering dipakai di musik indie. Ini menarik, karena semua ada sisi historis dan keindahannya sendiri-sendiri.
Tidak ada yang lebih spesial atau diistimewakan antara musik satu dengan lainnya. Tidak ada musik bagus dan tidak bagus. Semua hanya menyangkut soal selera dan kemampuan interpretasi masing-masing.Â
Musik pop adalah keniscayaan untuk saya yang sudah paham keterbatasannya. Musik pop akan selalu ada menemani hari-hari sibuk kita. Dia akan hadir dengan segala kekliseannya yang akan mengimbangi hidup kita yang sudah berat.
Letupan-letupan ringannya akan membawa kita sejenak melupakan persoalan hidup yang terlampau kompleks. Kita tidak usah repot-repot menerka apa maksudnya. Yang patah hati mari menangis bersama, resapi lirik itu. Dan yang jatuh cinta saya ucapkan selamat untuk anda, karena musik pop ini bisa menjadi kode ke pasangan ketika kata-kata sudah tak mampu lagi terucap.
-Andri Asmara-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H