Saya sangat mengharapkan transportasi publik di Indonesia bisa menjadi opsi utama untuk bepergian. Hal yang sama juga menjadi cita-cita Pemerintah Indonesia sejak lama. Namun setelah beberapa kali berganti pemimpin, kenapa impian ini belum terwujud?
Pemerintah sendiri sudah berupaya meningkatkan layanan di terminal. Ruangan dengan pendingin (AC), petunjuk yang jelas untuk menuju shelter bus, sampai petugas keamanan yang selalu sigap membantu penumpang.
Operator bus juga terus dihimbau untuk meningkatkan pelayanan di setiap armada. Mulai dari kru yang terampil dan mengutamakan keselamatan, perawatan bus yang lebih baik, sampai pembatasan usia armada. Tidak seketat transportasi udara, tetapi sudah jauh lebih teregulasi dibandingkan sebelumnya.
Layanan para operator juga banyak yang meningkat sampai ke tahap ekstrem menurut saya. Lihat saja armada-armada milik PO Juragan99 yang bahkan menawarkan kabin pribadi. Kalau mau membeli tiketnya sekarang, paling cepat mendapatkan jadwal keberangkatan untuk tiga bulan mendatang.
Hal yang sama juga terjadi pada bus dengan layanan di luar nalar lainnya seperti 27Trans atau Pandawa 87. Walaupun calon penumpangnya tidak seekstrem Juragan99, tetap saja bus mereka menjadi incaran utama untuk bepergian jarak jauh.
Nasib berbeda dialami bus kelas eksekutif yang harus berhenti di banyak terminal bayangan. Penumpang mereka tidak mampu naik bus premium, tetapi juga enggan ke terminal resmi. Bisa jadi karena calo dan kriminalitas yang menjadi masalah klasik, atau lokasinya yang terlalu jauh dibandingkan ke terminal bayangan.
Mustahil memaksakan semua orang bayar mahal untuk naik bus dengan layanan ekstra nyaman. Jumlah penumpang kelas ekonomi dan eksekutif tetap menjadi yang terbesar saat ini. Sehingga seharusnya mereka yang menjadi titik fokus utama dalam mengambil setiap kebijakan terkait transportasi darat.
Saat ini terminal yang baru dan nyaman sebagian besar dibuat menjauh dari kantung penumpang. Untuk mencapai tempat tersebut disediakan feeder, entah gratis atau berbayar. Tetapi tidak juga efektif karena perpindahan antar moda tersebut bukan perkara mudah bagi sebagian orang.
Sedangkan kalau diantar ke kantor perwakilan atau terminal bayangan, mereka bisa dibantu keluarganya. Terutama untuk lansia yang akan melakukan perjalanan sendiri. Jelas ini opsi lebih nyaman dibandingkan ke terminal resmi yang jauh.
Waktu saya kecil, banyak bus besar masuk ke Banjarmasin dan parkir di Terminal Pal 6. Hampir selalu penuh penumpang juga untuk semua tujuan. Kini saat terminal AKAP digeser ke Terminal Gambut Barakat, banyak bus yang mengeluh sepi penumpang.
Terminal Gambut Barakat terlalu jauh untuk warga Banjarmasin, dan feeder bukan solusi tepat. Penumpang bus sepi bukan karena kalah saing dengan pesawat atau kapal laut. Mereka beralih ke mobil travel yang diijinkan menjemput bahkan ke depan rumah.
Jadilah ada dua moda resmi yang akhirnya merana hanya gara-gara terminal AKAP digeser. Bukan hanya operator bus AKAP, tetapi juga operator angkutan AKDP. Biasanya mereka mendapatkan penumpang dari penumpang bus AKAP yang akan melanjutkan perjalanan.
Pengguna angkutan AKDP mungkin bisa kembali jika armadanya dibuat lebih nyaman tanpa menambah beban pemilik armada. Toh mereka masih bisa melayani penjemputan dari depan rumah sampai ke rumah tujuan. Layanan yang sama dengan penawaran mobil travel yang kian marak saat ini.
Tetapi bus AKAP akan selalu bernasib sama walaupun terminal dan feeder yang disediakan semakin nyaman. Ini terkait kepraktisan dalam mengakses layanan mereka, bukan soal layanan pendukungnya.
Sebaiknya pertahankan saja terminal lama yang dekat dengan kantung penumpang. Perbaiki kalau dianggap tidak layak, upgrade jika masalahnya adalah tipe terminal yang tidak lagi sesuai. Masalah terminal bayangan bisa teratasi, sekaligus membantu operator bus menjadi lebih dekat dengan penumpang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI