Mohon tunggu...
Andrian Ramadan
Andrian Ramadan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Mercu Buana

43223010055 S1 Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Prof. Dr. Apollo M.Si.Ak

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menjadi Sarjana dan Menciptakan Etika Kebahagiaan Aristotle

9 Oktober 2024   22:09 Diperbarui: 9 Oktober 2024   22:49 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Modul Prof. Dr, Apollo, M.Si.Ak

Dalam dunia akademik, sarjana sering dihadapkan dengan berbagai pilihan moral, seperti bagaimana menjaga integritas dalam penelitian, bagaimana tidak terjebak dalam plagiarisme, atau bagaimana bersikap adil dalam perlakuan terhadap sesama rekan. Dengan terus memilih tindakan yang baik, kebajikan menjadi bagian dari karakter seseorang, dan kebahagiaan pun akan muncul sebagai hasil dari karakter yang baik tersebut.

4. Kebahagiaan Kolektif dan Kontribusi kepada Masyarakat

Aristoteles percaya bahwa manusia adalah makhluk sosial, dan kebahagiaan individu berkaitan erat dengan kebahagiaan masyarakat. Seorang sarjana yang terjebak dalam kehidupan yang egois, hanya mengejar keuntungan pribadi, tidak akan pernah mencapai kebahagiaan sejati. Sebaliknya, Aristoteles mendorong individu untuk berkontribusi pada kesejahteraan orang lain dan masyarakat secara keseluruhan.

Sarjana, dengan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki, memiliki peran penting dalam membangun masyarakat yang lebih baik. Misalnya, sarjana di bidang kesehatan dapat memberikan pelayanan yang bermanfaat bagi masyarakat yang kurang mampu, atau sarjana di bidang hukum dapat memperjuangkan keadilan bagi kelompok yang terpinggirkan. Dengan berkontribusi kepada orang lain, sarjana dapat mencapai kebahagiaan sejati menurut Aristoteles, karena mereka berperan dalam menciptakan kebajikan dalam skala yang lebih luas.

5. Keseimbangan (Golden Mean) dalam Kehidupan Sarjana

Prinsip golden mean Aristoteles, atau keseimbangan di antara dua ekstrem, juga sangat penting dalam kehidupan sarjana. Aristoteles menyarankan bahwa kebajikan selalu berada di tengah-tengah antara dua sifat buruk yang berlawanan: kekurangan dan berlebihan. Misalnya, keberanian berada di antara pengecut dan sembrono.

Sarjana dapat menerapkan konsep ini dalam berbagai aspek kehidupan mereka, termasuk dalam hal kerja keras dan istirahat, ambisi dan kerendahan hati, serta pencapaian akademik dan kesejahteraan pribadi. Sarjana yang bijaksana akan memahami pentingnya keseimbangan ini, tidak terjebak dalam kerja yang berlebihan tanpa istirahat, tetapi juga tidak mengabaikan tanggung jawab akademik mereka.

Apa Pentingnya Memahami Konsep Kebahagiaan Aristoteles?

Pertama, pemahaman tentang kebahagiaan Aristotelian sangat relevan bagi seorang sarjana, karena pendidikan tinggi tidak hanya bertujuan untuk memperkaya pengetahuan, tetapi juga membentuk individu secara moral dan karakter. Aristoteles percaya bahwa kebahagiaan sejati bukan hanya bersifat hedonistik atau material, melainkan berasal dari menjalani hidup dengan kebajikan (virtue) dan mengembangkan kemampuan intelektual seseorang.

Kebahagiaan menurut Aristoteles adalah hasil dari tindakan moral yang baik, di mana seseorang mencapai potensi tertingginya sebagai manusia. Ini bukanlah kebahagiaan sementara yang ditentukan oleh keinginan jangka pendek, tetapi kebahagiaan jangka panjang yang timbul dari kehidupan yang bermakna dan penuh tujuan. Sarjana tidak hanya memerlukan kecerdasan akademik, tetapi juga integritas moral untuk menciptakan kontribusi yang positif bagi masyarakat.

Mengapa seorang sarjana perlu memahami konsep kebahagiaan Aristotelian? Dalam kehidupan yang semakin kompetitif dan materialistis, sarjana seringkali terjebak dalam pemikiran bahwa pencapaian materi adalah tujuan akhir pendidikan. Namun, melalui lensa Aristotelian, menjadi sarjana bukan hanya tentang mendapatkan pekerjaan yang baik atau kehidupan yang nyaman, melainkan juga tentang pencarian nilai-nilai kebajikan, berkontribusi pada kebaikan bersama, dan menjalani kehidupan yang bermakna.

Apakah Kebahagiaan Harus Berdasarkan Kebajikan?

Kedua, Aristoteles menegaskan bahwa kebahagiaan sejati hanya dapat dicapai melalui kebajikan. Dalam konteks pendidikan tinggi, ini berarti bahwa seorang sarjana tidak hanya mengejar kesuksesan pribadi, tetapi juga menjalani kehidupan yang etis. Kebajikan bukan sekadar konsep teoritis bagi Aristoteles, melainkan tindakan yang konkrit dan berulang. Ia berpendapat bahwa kebajikan terdiri dari dua jenis utama: kebajikan moral dan kebajikan intelektual.

  • Kebajikan moral
  • meliputi kualitas seperti keberanian, keadilan, pengendalian diri, dan kemurahan hati. Kebajikan ini tidak datang secara alami, tetapi harus dikembangkan melalui kebiasaan dan latihan. Seorang sarjana, misalnya, harus belajar untuk adil dalam memperlakukan sesama mahasiswa, dosen, dan masyarakat secara umum. Keterampilan ini tidak diajarkan di kelas, tetapi tumbuh dari refleksi diri, pengalaman, dan pengambilan keputusan yang benar secara konsisten.

  • Kebajikan intelektual
  • berkaitan dengan pengetahuan dan kebijaksanaan. Sebagai sarjana, seseorang tidak hanya diajak untuk belajar dan menguasai disiplin ilmu tertentu, tetapi juga untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan mencari kebenaran. Aristoteles menekankan pentingnya phronesis atau kebijaksanaan praktis, di mana seorang individu mampu membuat keputusan yang tepat berdasarkan pengetahuan dan pengalaman.

Dengan demikian, menjadi sarjana bukan hanya tentang mengumpulkan informasi, tetapi juga bagaimana informasi tersebut digunakan secara bijaksana untuk kebaikan diri sendiri dan orang lain. Kebajikan intelektual harus berjalan seiring dengan kebajikan moral agar seorang individu dapat mencapai kebahagiaan sejati.

Bagaimana Menerapkan Etika Kebahagiaan dalam Kehidupan Sehari-hari?

Lalu, bagaimana konsep Aristoteles tentang kebahagiaan ini dapat diterapkan dalam kehidupan seorang sarjana? Proses ini melibatkan tiga tahapan utama: refleksi diri, pengambilan keputusan yang bijaksana, dan tindakan yang konsisten.

  • Refleksi diri
  • Aristoteles mendorong setiap individu untuk memahami diri mereka sendiri, mengenali kekuatan dan kelemahan, serta menentukan apa yang benar-benar penting dalam hidup. Bagi seorang sarjana, ini berarti melakukan refleksi tentang tujuan pendidikan, nilai-nilai pribadi, dan dampak yang ingin ditinggalkan di dunia. Refleksi diri membantu sarjana memahami apakah mereka mengejar pengetahuan untuk tujuan yang dangkal atau untuk kebaikan yang lebih besar.

  • Pengambilan keputusan yang bijaksana
  • Dalam kehidupan sehari-hari, sarjana dihadapkan pada berbagai keputusan---baik dalam kehidupan akademik maupun pribadi. Kebijaksanaan praktis yang ditekankan oleh Aristoteles mengajak individu untuk membuat keputusan yang berdasarkan kebajikan dan rasionalitas, bukan berdasarkan emosi sesaat. Sebagai contoh, memilih untuk bekerja keras demi pembelajaran yang bermakna lebih baik daripada sekadar mengejar nilai atau gelar.

  • Tindakan yang konsisten
  • Aristoteles percaya bahwa kebajikan dibentuk melalui kebiasaan. Ini berarti bahwa sarjana harus berusaha untuk secara konsisten bertindak dengan integritas, keadilan, dan kebijaksanaan. Tindakan-tindakan kecil sehari-hari---seperti menjaga etika dalam belajar, memperlakukan orang lain dengan hormat, atau menepati janji---membantu membentuk karakter yang kuat dan pada akhirnya mengarah pada kebahagiaan sejati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun