Dalam perjalanan hidup manusia, pencarian kebahagiaan merupakan salah satu tujuan utama. Setiap individu mendambakan kehidupan yang memuaskan, damai, dan seimbang. Aristoteles, filsuf besar Yunani, memperkenalkan konsep kebahagiaan melalui pemikiran etisnya, yang dikenal sebagai eudaimonia atau kebahagiaan yang tercapai melalui kesempurnaan moral dan intelektual. Dalam konteks pendidikan tinggi, khususnya menjadi seorang sarjana, pemikiran Aristoteles tentang etika kebahagiaan dapat memberikan panduan penting.
Berangkat dari Nicomachean Ethics, Aristoteles menekankan bahwa kebahagiaan adalah tujuan tertinggi manusia, dan dapat dicapai melalui tindakan yang berlandaskan kebajikan. Pemikiran ini sangat relevan bagi sarjana, yang dalam perjalanannya tidak hanya berfokus pada ilmu pengetahuan dan keterampilan teknis, tetapi juga membentuk karakter moral yang baik. Berikut adalah tinjauan lebih mendalam tentang bagaimana seorang sarjana dapat menciptakan etika kebahagiaan menurut Aristoteles.
1. Pemahaman Kebahagiaan sebagai Tujuan Tertinggi
Menurut Aristoteles, kebahagiaan (eudaimonia) adalah tujuan akhir yang ingin dicapai oleh setiap manusia, dan ini bukan tentang kebahagiaan sesaat atau materi, tetapi tentang kesejahteraan menyeluruh yang mencakup aspek fisik, emosional, dan intelektual. Aristoteles memandang kebahagiaan sebagai hasil dari kehidupan yang dijalani dengan baik, di mana tindakan-tindakan kita sesuai dengan kebajikan.
Sebagai sarjana, pencapaian intelektual memang penting, tetapi ini harus selaras dengan kebajikan moral. Dengan demikian, sarjana yang berusaha untuk hidup sesuai dengan etika kebahagiaan Aristotelian akan terus mencari keseimbangan antara kemampuan intelektual dan tindakan moral. Ini menciptakan landasan yang lebih solid untuk kebahagiaan yang berkelanjutan dibandingkan sekadar pencapaian akademis atau materi.
2. Kebajikan sebagai Inti Kebahagiaan
Aristoteles membedakan kebajikan menjadi dua kategori: kebajikan moral dan kebajikan intelektual. Kebajikan moral, seperti keberanian, keadilan, dan pengendalian diri, adalah kualitas-kualitas yang harus dikembangkan melalui latihan terus-menerus. Kebajikan intelektual, seperti kebijaksanaan dan pengetahuan, merupakan hasil dari pembelajaran dan pengembangan intelektual.
Seorang sarjana perlu membangun kedua jenis kebajikan ini. Di satu sisi, dia harus terus meningkatkan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki. Namun, tanpa kebajikan moral, intelektualitas tersebut akan kehilangan nilai-nya karena tidak digunakan untuk tujuan yang baik. Seorang sarjana yang mengikuti etika Aristotelian akan selalu bertanya: Apakah pengetahuan ini saya gunakan untuk membantu orang lain? Apakah saya bertindak adil dalam setiap interaksi? Melalui kebajikan moral inilah kebahagiaan yang sejati dapat dicapai.
 3. Pengembangan Karakter melalui Kebiasaan
Aristoteles mengatakan bahwa kebajikan bukanlah sesuatu yang diwariskan atau muncul begitu saja. Ia perlu dibentuk melalui kebiasaan. Seorang sarjana, misalnya, tidak akan menjadi orang yang bijaksana hanya dengan belajar atau membaca buku-buku ilmiah, tetapi dengan praktik terus-menerus dan menerapkan pengetahuan tersebut dalam kehidupan nyata.