Mohon tunggu...
Andrian Habibi
Andrian Habibi Mohon Tunggu... Konsultan - Kemerdekaan Pikiran

Menulis apapun yang aku pikirkan. Dari keresahan atau muncul untuk mengomentari sesuatu. Cek semua akun dengan keynote "Andrian Habibi".

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

24 Tahun KIPP: Jalan Panjang Mengawal Demokrasi

11 Maret 2020   18:56 Diperbarui: 12 Maret 2020   07:55 431
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 Pemilih bukan cuma robot yang sudah pasti mencoblos warna dan gampar apa. Tetapi, pemilih adalah penanya visi misi calon, kritis saat kampanye, pelapor ketika terjadi kecurangan, dan hakim yang menghukum politisi buruk dengan cara memilih politisi baik di ruang pencoblosan.

Atas dasar ini, pejuang demokrasi awal membentuk organisasi pemantauan pemilu pertama di Indonesia, yakni KIPP Indonesia. Selain untuk memutus masa kepemimpinan orde baru secara konstitusional dan demokratis. KIPP Indonesia juga berjuang untuk mendidik pemilih. Agar pemilih bisa menentukan sendiri pilihannya dengan pengetahuan yang dimiliki. 

Seketika itu, KIPP Indonesia langsung mendapatkan 'cap' kiri. Padahal, kiri-kanan lah yang bersatu untuk bergandengan tangan melawan otoritarian orde baru.

Tujuan pemantauan publik adalah menjamin seluruh proses pemilu berjalan atas dasar hukum yang menuju keadilan. Setiap pihak terpenuhi hak asasinya. Seluruh stakeholder aktif dan memperoleh informasi.

 Sehingga, hasil pemilu menjadi eksekutif dan legislatif yang berusaha memenuhi janji kampanye untuk memakmurkan rakyat. Dengan demikian, otoritarian terkikis habis. Lalu, demokrasi hadir membawa kebebasan, kesetaraan, dan keseimbangan kekuatan penguasa dan masyarakat sipil.

Peniadaan Pemantau Pemilu
Sekarang, setelah 20 tahun paska reformasi. Sudah lima kali pemilu dilaksanakan dengan label demokratis. Namun, mimpi keseimbangan kekuatan pemerintah dan masyarakat sipil masih jauh panggang dari api. 

Bukan hanya itu, masyarakat sipil juga kehilangan basis massa mandiri dan independen. 20 tahun menjadi sia-sia atau hambar. Penggiat ham dan demokrasi telah ditinggal dengan cara halus. Standarisasi legalitas dan kekuatan dana menggerus semangat pengawalan demokrasi prosedural.

Pemantau pemilu se-nusantara mulai menghembuskan nafas terakhir. Satu demi satu hilang ditelan jabatan, posisi, kekuasaan, atau memang keletihan perjuangan. Sehingga, jumlah pemantau setiap periodik pemilu berkurang. 

Alasan pembenar atas nama kemandirian, kreatifitas, dan produk pemantauan menjadi bumbu penyedap terputusnya regenerasi Nasional pemantau pemilu. Bukan hanya itu, pemantau pemilu bahkan sulit mendapatkan posisi pasti diantara penyelenggara pemilu.

Dengan kurangnya pengetahuan dan jejaring serta mandeknya komunikasi, pemantau pemilu di daerah dianggap "tidak ada" oleh banyak pihak. Paling-paling, pemantau pemilu lokal di-hadir-kan dalam list pemantau terdaftar dan pengisi absensi kegiatan sosialisasi. 

Lepas dari itu, kemandirian yang diterjang oleh digdaya tim kampanye turut membantu penguburan pemantau pemilu. Loyalitas dan komitmen politik diberi panggung untuk menari-nari, sejak pra pemilu sampai hasil pemilihan memimpin pemerintahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun