Debat calon presiden tahun 2019 yang kedua menampilkan perbedaan dari debat perdana. Misalnya, tidak ada kisi-kisi, pemindahan tempat duduk pendukung dan siapa dan bagaimana moderator mengarahkan debat.
Dari beberapa kali pertemuan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) cukup memberikan tampilan yang berbeda antara debat perdana dengan kedua.Bagi KPU, ujian menjaga marwah capres cukup berhasil. Olok-olok terkait kisi-kisi menghilang. Muncul tantangan menjaga marwah capres kepada personal kandidat. Sehingga, beban berat debat yang asyik dan menghibur juga menampilkan pemikiran alami calon pemimpin bangsa berjalan cukup baik. Setidaknya, KPU telah mendengar masukan dari banyak pihak atas kegagalan debat perdana.
Secara teknis, debat capres kedua memusatkan perhatian pada objek, yaitu Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Lokasi pendukung yang hilang dari belakang capres membantu fokus perhatian. Sedangkan kegembiraan pendukung masih sulit diamankan. Sorak dukungan cukup mengganggu perhatian moderator memandu debat. Posisi pemandu yang duduk dan berdiri ternyata memberikan tampilan yang lebih pas. Namun, menutupi penonton yang ada di belakang moderator.
Dari sisi penghilangan kisi-kisi, kedua capres terasa masih berusaha menghafal jawaban. Kecuali Jokowi yang inkumben. Dengan sekedar memberikan stimulus contoh kasus. Jokowi cukup mampu menjawab berbagai pertanyaan. Masalah Prabowo yang tidak mampu memberikan contoh dan menjawab dengan program teknis yang berbeda. Jadi, Prabowo masih sulit mencarikan solusi terbaik untuk masalah-masalah lain yang juga terkait dengan masalah utama.
Capres Kebingungan
Akan tetapi, kandidat capres masih berat menjawab pertanyaan yang tepat. Capres masih menjawab secara mengambang. Antara pertanyaan dengan jawaban masih menyisakan tanda tanya. Seberapa kuat kedua capres memahami visi, misi dan program solutif atas masalah yang muncul. Masalah yang ada tidak terungkap dengan baik. Misalnya kebakaran hutan, pencemaran sungai dan laut. Masalah lingkungan juga terjadi pada masalah-masalah hukum di sekitar lahan sawit.
Sebagai misal, data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di http://sipongi.menlhk.go.id/hotspot/luas_kebakaran bahwa setiap tahun masih terjadi kebakaran hutan dan lahan. Tahun 2015 ada 261.060 hektar lahan dan hutan terbakar. Tahun 2016 ada 14.604 lahan terbakar, lalu 11.127 lahan terbakar di tahun 2017. Terakhir lahan terbakar seluas 4.666 lahan terbakar. Data tersebut belum lagi terkait penegakan hukum di sektor lingkungan.
Dari sisi sengketa akibat sawit, pegiat hak asasi manusia cukup sulit mengadvokasi hak-hak petani sawit. Masalah pembagian hasil, monopoli penguasa dan orang kuat lokal yang berhubungan dengan kontestasi pemilihan kepala daerah. Juga persoalan penataan dan bantuan pengelolaan koperasi sawit yang belum menguatkan kemandirian warga sekitar.
Jika pertanyaan pemanfaatan teknologi pada pertanian, perkebunan dan peternakan juga perikanan. Maka kita harus kembali melihat video youtube. Bagaimana robotik yang sederhana untuk memanen padi. Atau bagaimana mesin pemotong batang pohon. Belum lagi robot pembajak tanak untuk mempersingkat waktu pengolahan lahan. Contoh penjualan sistem dalam jaringan (daring) menggunakan aplikasi cukup menarik. Namun, pengusaha dengan modal besar bisa memonopoli pembelian hasil pertanian, perkebunan dan peternakan yang bisa menyusahkan pemerataan ekonomi.
Lingkungan dan Pemilu
Penduduk yang bekerja di sektor perkebunan, pertanian dan peternakan adalah pemilih. Begitu juga dengan penduduk di sekitar lahan pertambangan. Sehingga, program kerja dan janji kampanye memiliki hubungan dengan isu pemilu. Masalah sosial lingkungan di daerah lahan sawit dan tambang masih menjadi masalah tanpa solusi.
Sebagai contoh aksi petani Kendeng yang dilakukan tepat di depan istana presiden. Belum lagi solusi untuk penduduk di daerah tambang, baik legal maupun ilegal. Begitu juga dukungan pemodal dan pemilik tambang dalam bentuk dana kampanye. Kedua kubu, sama-sama memiliki hubungan dengan para pemilik tambang. Penyelidikan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menyebutkan ada enam pengusaha tambang di tim kampanye Jokowi-Ma'ruf Amin dan lima pengusaha tambang di kubu pemenangan Prabowo-Sandi.
Oleh sebab itu, masalah lingkungan dan sosial akibat tambang menjadi tanggung jawab kedua capres. Apalagi penelitian Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dengan berbagai ahli dalam buku Pembiayaan Pemilu terkonfirmasi oleh kajian Jatam dan Greenpeace. Bagaimana cara mengendalikan pengusaha tambang yang berhubungan dengan kesejahteraan masyarakat.
Sepanjang perdebatan, Jokowi dan Prabowo tidak menyentuh pada program pembelaan masyarakat adat, desa dan kelompok minoritas wilayah yang terkena dampak masalah lingkungan akibat perusahaan dan pertambangan. Sebaliknya, debat eksploratif yang menjadi harapan untuk menyelami program pun masih jauh dari kata program pasti penyelesaian masalah.
Kepentingan untuk nelayan, petani, pekerja di sektor ekonomi, sumber daya alam dan lingkungan membutuhkan perhatian penuh. Seperti pendidikan hukum dan pendampingan yang berasal dari negara. Agar masyarakat miskin mendapatkan hak-hak. Begitu juga penguatan koperasi yang harus mendapatkan dukungan ahli dan pemerintahan daerah. Sistem daring dan aplikasi membutuhkan bantuan jaringan internet, pengetahuan pengiriman produk dan proses hukum akibat perdagangan daring.
Meskipun latar belakang kedua capres adalah pengusaha. Akan tetapi, Jokowi dan Prabowo masih sulit menyampaikan gagasan terbaik. Keduanya masih kalah jauh dari tiga paslon gubernur dan wakil gubernur Jakarta. Semoga debat selanjutnya, kedua paslon telah memiliki kefokusan yang lebih baik. Terutama agenda menyerang antar kandidat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H