Mohon tunggu...
Andrian Habibi
Andrian Habibi Mohon Tunggu... Konsultan - Kemerdekaan Pikiran

Menulis apapun yang aku pikirkan. Dari keresahan atau muncul untuk mengomentari sesuatu. Cek semua akun dengan keynote "Andrian Habibi".

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Menyelesaikan Kampanye Hitam dan Politik Uang

21 November 2018   09:29 Diperbarui: 21 November 2018   14:18 1241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah tiga kali penyelenggaraan pemilihan kepala daerah serentak, yakni 2015, 2017 dan 2018. Komisi Pemilihan Umum melakukan penelitian pemilu (elektoral research). 

Dari proposal kegiatan KPU, ada bacaan bahwa saat ini dibuhkan evaluasi mendalam dan menyeluruh atas tiga perhelatan pilkada serentak. Salah satu yang akan mendapat perhatian asalah persoalan kampanye di media sosial, kampanye hitam, dan politik uang yang dikaitkan dengan prilaku pemilih.

Kalau kita membaca kampanye hitam dan media sosial. Maka, itu merupakan satu kesatuan yang utuh. Apalagi zaman sekarang memasuki kehidupan digital. Sehingga muncul pergeseran prilaku. 

Dari kampamye hitam di ruang-ruang publik. Beralih ke media sosial, seperti facebook, whatsapp, twitter dan media lainnya. Tidak perlu melalukan kajian mendalam untuk membaca hubungan kampanye hitam dengan media sosial. Karena, keduanya adalah satu, kampanye hitam merupakan konten dan media sosial sebagai alat penyampai pesan secara massif.

Apalagi pemilihan kepala daerah mirip pemilihan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Ketegatangan dan adu kuat merambah dunia maya. Sehingga, kampanye hitam menjadi hal lumrah. 

Kalau tidak, dengan alasan kebebasan berpendapat. Para pendukung salah satu pasangan calon kepala daerah akan menghantam paslon lainnya. Saling membuat konten, membagi dan menandai orang yang akan diserang telah biasa.

Hanya saja, apakah ada kemampuan dari pihak pengawas pemilu dan Kementrian Komunikasi dan Informasi untuk menuntaskan masalah kampanye hitam di media sosial? Apalagi, dari kajian Indeks Kerawanan Pemilu 2019, media sosial menjadi salah satu perhatian. Bahkan, pengawas pemilu memasukkan item kampanye di media sosial sebagai salah satu masalah yang mampu membahayakan terhadap penyelenggaraan pemilu.

Untuk kasus ini, kampanye hitam dan hoax, menghadapi masalah dalam penegakan. Salah satunya adalah keharusan mengakui kebebasan berekspresi yang diatut oleh media sosial dengan kebebasan berekspresi sesuai aturan Indonesia. Salah-salah dalam pengaturan, penegakan hukum di media sosial bisa berujung pada pencederaan hak-hak asasi dalam menyatakan pendapat.

Untuk itu, perlu ada sautu gerakan nyata dari KPU, Bawaslu, Kemenminfo, Tim Cyber Mabes Polri juga pemantau dalam melihat, membaca, menganalisa dan memutuskan untuk tindakan pada akun dan pemilik akun media sosial. Dengan demikian, kampanye hitam akan berkurang. Seperti membaca kasus-kasus pencemaran nama baik atau penistaan agama di media sosial yang terkena pasal Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Cara yang sama, bisa berlaku untuk akun dan pemilik akun media sosialnya.

Misalnya, jika kampanye hitam ternyata membuat masalah. Atau bersesuaian dengan alasan bagai kasus Ahok, Baiq Nuril dan kasus-kasus lain yang menjadi korban UU ITE. Bukan tidak mungkin, pembuat status yang mengarah pada pembusukan secara politik juga terancam pidana dalam UU ITE. 

Itupun, harus ada kesediaan dari pemilik media sosial dalam membantu pencarian akun dan pemilik akun yang berkampanye hitam. Sehingga akun media sosial bisa dihapus dan penggunanya dikenai sanksi pidana seusai UU ITE.

Tapi, dengan syarat keadilan bagi seluruh pihak. Jangan sampai penegak hukum tebang pilih. Yang berpotensi pada pembentukan opini publik bahwa pemberantasan kampanye hitam merupakan jenis otoriter gaya baru paska reformasi. Kalau tidak bisa, maka, butuh keterangan langsung dari pihak kepolisian dan pemilik medsos. Agar, pengguna medsos bisa membantu pemerintah dalam membersihkan halaman medsos dari praktek berkampanye yang buruk.

Politik Uang yang Membosankan

Dari kajian evaluasi itu, pembahasan politik uang adalah pembahasan yang membosankan. Kenapa? Karena sejak dahulu, pemilihan dalam bentuk apapun selalu membuka ruang paktik jual beli suara. 

Kajian KIPP dengan LIPI paska reformasi misalnya. Hasilnya menceritakan bahwa cara politik uang di zaman itu sudah sangat kreatif. Trik membagi uang termasuk lucu tapi jelas. Seperti memasukkan uang ke kotak korek api. Sehingga orang tidak tahu bahwa di dalam kotak itu ada uangnya.

Di lain sisi, sudah banyak rasanya, penelitian, survey, skripsi, tesis, jurnal dan berbagai tulisan tentang politik uang. Misalnya saja, Burhanuddin Muhtadi sempat mengatakan bahwa politik uang hanya mempengaruhi 19 persen pemilih. 

Bayangkan, sekarang, uang adalah suatu keharusan yang dibagi tanpa ada korelasi dalam keterpilihan calon. Belum lagi diskusi, seminar, workshop dan konfrensi. Banyak yang telah membahas politik uang. Tetapi masalah tetap saja terjadi.

Beberapa waktu lalu, Sindikasi Pemilu dan Demokrasi telah melalukan kajian tentang Peta Jalan Politik Uang dan Peta Jalan Pencegahan Politik Uang. Setelah itu, Bawaslu menyelenggarakan Riset Pendanaan Pemilu dengan berbagai pihak. 

Yang salah satu kajiannya adalah politik uang. Kemudian, Konfrensi Nasional Hukum Tata Negara Kelima yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas. Salah satu Paralel Group Discussionnya juga membahas politik uang.

Nah, sekarang, apakah pembahasan politik uang masih perlu? Mungkin iya, dalam artian membaca praktik kekinian, besaran jumlah uang yang dibagi dan bagaimana cara pembagiannya. Mungkin ada yang mengakalinya dengan cara paskabayar, atau habis pemilu baru dibayar. Hasil pantauan Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) pernah disampaikan oleh Sunanto, bahwa salah satu bentuk politik uang adalah judi pemilihan. Yaitu berjudi siapa yang menang di suatu pemilihan.

Lain lagi kasusnya, bila politik uang terkait mahar politik. Misalnya, isu Lanyala Mattalili yang berurusan dengan Prabowo Subianto. Atau kasus perlawanan pengurus Hanura terhadap Oesma Sapta Oedang yang berakibat pada pemecatan dan restrukturisasi pengurus. Ada juga kasus Jenderal Kardus antara Andi Arif dengan Prabowo Subianto. Juga masalah-masalah lain. Mahar politik saja tidak mampu dibuka secara terang benderang. Karena regulasinya juga tidak mampu menyentuh informan dan menegakkan hukum pemilu.

Pendidikan Pemilu

Menurut Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Indonesia. Kajian yang berusaha menjawab apakah ada hubungannya kampanye di media sosial dengan pemilih saat hari H? Atau pertanyaan bagaimana politik uang dan kampanye hitam mempengaruhi pemilih? Bukanlah masalah utama. Karena, tidak ada jaminan penguatan hukum pemilu. 

Apabila pembentuk undang-undang masih saja menciptakan padal ambigu. Kalimat perpasal dikatakan jelas pada lampirannya. Padahal, tidak ada yang jelas dalam kejelasan setiap pasal.

Oleh sebab itu, lebih baik penguatan pendidikan pemilu. Ini lebih penting daripada membahas berapa jumlah pemilih saat hari pencoblosan yang dihubungkan dengan praktik kampanye hitam maupun politik uang. 

Evaluasi pendidikan pemilu akan banyak membantu penyelenggara pemilu. Dari pada sibuk mencari akar masalah yang belum tentu akan diatur pada saat revisi regulasi kepemiluan.

Bila pendidikan pemilih oleh penyelenggara pemilu diperbaharui. Sistemnya berkelanjutan dengan pemagangan, percontohan dan penghargaan. Seperti, menjadikan pendidikan pemilih setiap bulan secara terus menerus. Ada sistem evaluasi pembelajaran dan ujian akhir. Lalu, ada penghargaan dan wisuda. Kemudian, pemagangan atau kemitraan sepanjang waktu dengan penyelenggara pemilu.

Bisa jadi, peserta sekolah pemilu akan mampu mengurangi masalah-masalah diatas. Tanpa perlu berharap lebih pada pembentuk undang-undang atau penegak hukum. 

Pemilih yang aktif akan memudahkan penyelenggara pemilu menjalankan kerja-kerja teknis demokrasi. Sekaligus mengawal pemilu dari praktik-praktik kecurangan. Termasuk menyeleksi para calon kepala daerah, anggota legislatif dan pemimpin hasil pemilihan apapun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun