Setelah tiga kali penyelenggaraan pemilihan kepala daerah serentak, yakni 2015, 2017 dan 2018. Komisi Pemilihan Umum melakukan penelitian pemilu (elektoral research).Â
Dari proposal kegiatan KPU, ada bacaan bahwa saat ini dibuhkan evaluasi mendalam dan menyeluruh atas tiga perhelatan pilkada serentak. Salah satu yang akan mendapat perhatian asalah persoalan kampanye di media sosial, kampanye hitam, dan politik uang yang dikaitkan dengan prilaku pemilih.
Kalau kita membaca kampanye hitam dan media sosial. Maka, itu merupakan satu kesatuan yang utuh. Apalagi zaman sekarang memasuki kehidupan digital. Sehingga muncul pergeseran prilaku.Â
Dari kampamye hitam di ruang-ruang publik. Beralih ke media sosial, seperti facebook, whatsapp, twitter dan media lainnya. Tidak perlu melalukan kajian mendalam untuk membaca hubungan kampanye hitam dengan media sosial. Karena, keduanya adalah satu, kampanye hitam merupakan konten dan media sosial sebagai alat penyampai pesan secara massif.
Apalagi pemilihan kepala daerah mirip pemilihan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Ketegatangan dan adu kuat merambah dunia maya. Sehingga, kampanye hitam menjadi hal lumrah.Â
Kalau tidak, dengan alasan kebebasan berpendapat. Para pendukung salah satu pasangan calon kepala daerah akan menghantam paslon lainnya. Saling membuat konten, membagi dan menandai orang yang akan diserang telah biasa.
Hanya saja, apakah ada kemampuan dari pihak pengawas pemilu dan Kementrian Komunikasi dan Informasi untuk menuntaskan masalah kampanye hitam di media sosial? Apalagi, dari kajian Indeks Kerawanan Pemilu 2019, media sosial menjadi salah satu perhatian. Bahkan, pengawas pemilu memasukkan item kampanye di media sosial sebagai salah satu masalah yang mampu membahayakan terhadap penyelenggaraan pemilu.
Untuk kasus ini, kampanye hitam dan hoax, menghadapi masalah dalam penegakan. Salah satunya adalah keharusan mengakui kebebasan berekspresi yang diatut oleh media sosial dengan kebebasan berekspresi sesuai aturan Indonesia. Salah-salah dalam pengaturan, penegakan hukum di media sosial bisa berujung pada pencederaan hak-hak asasi dalam menyatakan pendapat.
Untuk itu, perlu ada sautu gerakan nyata dari KPU, Bawaslu, Kemenminfo, Tim Cyber Mabes Polri juga pemantau dalam melihat, membaca, menganalisa dan memutuskan untuk tindakan pada akun dan pemilik akun media sosial. Dengan demikian, kampanye hitam akan berkurang. Seperti membaca kasus-kasus pencemaran nama baik atau penistaan agama di media sosial yang terkena pasal Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Cara yang sama, bisa berlaku untuk akun dan pemilik akun media sosialnya.
Misalnya, jika kampanye hitam ternyata membuat masalah. Atau bersesuaian dengan alasan bagai kasus Ahok, Baiq Nuril dan kasus-kasus lain yang menjadi korban UU ITE. Bukan tidak mungkin, pembuat status yang mengarah pada pembusukan secara politik juga terancam pidana dalam UU ITE.Â
Itupun, harus ada kesediaan dari pemilik media sosial dalam membantu pencarian akun dan pemilik akun yang berkampanye hitam. Sehingga akun media sosial bisa dihapus dan penggunanya dikenai sanksi pidana seusai UU ITE.