Adanya sanksi yang berulang adalah jawaban bahwa konsep etik belum dipahami secara teori maupun praksis. Hal ini menjadi wajar, agar DKPP mengkaji ulang putusan-putusannya. Lalu, menyampaikan secara terus menerus kepada publik. Agar, bukan hanya penyelenggara yang paham etika pemilu. namun, publik juga memahami konsep etika penyelenggara pemilu.
Mengingat bahwa adanya calon komisioner yang menunggu proses Pergantian Antar Waktu (PAW). Maka, DKPP tidak perlu ragu memberikan putusan yang berat. Atau menaikkan bobot putusan apabila sudah pernah mendapatkan teguran dan saksi tertulis menjadi sanksi pemberhentian tetap. Karena, menjaga marwah penyelenggara pemilu lebih penting dari pada rasa kasihan atau pengabaian potensi pengulangan kesalahan.
3.Berkenaan dengan status kesekretariatan DKPP, dalam kaitannya dengan indepedensi kelembagaan, menurut anda, manakah yang lebih baik dari pilihan berikut disertai alasannya:
a.Sekretariat DKPP melekat dengan Sekretariat Jenderal Bawaslu RI sebagaimana pernah diatur dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 dan Perpres Nomor 80 Tahun 2012;
b.Sekretariat DKPP berada di bawah lingkup kementrian yang menangani urusan dalam negeri, sebagaimana diatur dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 dan Perpres Nomor 67 Tahun 2018;
c.Sekretariat DKPP berdiri sendiri dan berkedudukan setara dengan sekretariat jenderal KPU dan Bawaslu;
Menjawab pertanyaan nomor tiga, KIPP Indonesia mengutip pernyataan President of KIPP Eropa dan Dewan Pendiri Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD) yang menyampaikan bahwa 'Pemerintah Bukan Negara' dalam kaitannya terhadap posisi dan loyalitas Apartur Negeri Sipil. Dalam pandangan Pipit W Kartawidjaja, ASN seharusnya patuh dan tunduk kepada Negara, yaitu Undang-Undang. Sehingga, ASN tidak memiliki loyalitas lain kepada pemerintah. Apalagi, pemerintah yang sedang berkuasa melalui hasil pemilu memiliki kewenangan dalam 'janji' jabatan, posisi atau penempatan tugas dan sebagainya.
Dengan demikian, kita bisa menjawab pointer (a), (b) dan (c) terkait kesekretariatan DKPP. Apabila pinter (a) menjadi pilihan. KIPP Indonesia merasa ada kekosongan hukum ketatanegaraan dalam kelembagaan Bawaslu dan DKPP. Hal ini terjadi, apabila Sekjend Bawaslu dan DKPP menjadi terlpaor dan tergugat kasus kode etik penyelenggara pemilu. akan ada dilema secara internal kelembagaan di DKPP dan Bawaslu, bila orang nomor satu yang memimpin para PNS dijatuhi sanksi, atau minimal menduduki kursi pesakitan sidang etik.
Selain itu, kekuasaan yang terlalu luas bagi Sekjend yang memimpin dua lembaga dengan fungsi berbeda. Pengetahuan dan pengaruhnya mampu mengimbangi kekuatan komisioner dalam menjagankan pemerintahan di kelembagaan Bawaslu dan DKPP. Hal ini bisa berdampak tidak baik untuk manajemen kelembagaan. Serta mempengaruhi tingkat profesionalitas PNS, baik di DKPP maupun Bawaslu.
Sedangkan pointer (b) adalah bagian yang umum. Meletakkan kesekretariatan dibawah kementrian dalam negeri, bukanlah pilihan yang baik. Akan lebih baik mengikuti kebiasaan dalam kelembagaan apapun, yaitu point (c), sekeretariat sendiri yang mandiri bagi DKPP dengan Sekjend khusus. Karena semua lembaga memiliki sekjendnya masing-masing. Dengan demikian, DKPP akan lebih mampu meningkatkan penguatan kelembagaannya. Kehadiran Sekjend DKPP adalah suatu keniscayaan. Hanya dengan Sekjend yang mandirilah, kelembagaan DKPP bisa diperbaharui secara terus menerus dalam penguatan konsep etik penyelenggara pemilu.