Misalnya, jika kita melandaskan pada jumlah persentasi kursi DPR. Dengan dalih jumlah 20% kursi DPR. Bisa dibayangkan ada lima pasangan calon. Namun, berapa parpol atau gabungab parpol yang bisa meraih angka 20% kursi DPR? Jika anggapan sederhana itu kit terima. Maka, sama saja kita meramalkan bahwa setiap partai memiliki 10% kursi di DPR. Jadi, ada 10 parpol yang bila dua parpol berkoalisi, cukup memenuhi syarat 20% kursi DPR.
Permasalahannya, itu bukanlah suatu rumus yang bisa diukur dan dipaksakan. Bukan juga hasil kesepakatan ahli perhitungan politik dan pemilu. Bagaimana memastikan dua parpol bisa mendapatkan 20% kursi di DPR. Sedangkan politik Indonesia masih mengenal konsep multipartai?
Belum lagi jika ada parpol yang dengan calegnya mampu meraup suara mayoritas. Maka, sudah bisa dipastikan, parpol tersebut mendapat jatah calon Presiden. Lalu, parpol peraih suara kecil akan ikut pada peraih kursi terbanyak. Memang ini hanya pandangan politik. Bukan analisis matematika.
Pembatasan HAM
Keempat, pembatasan hak asasi memiliki batasan yang sudah tercukupi. Bahwa, setiap warga negara berhak menjadi calon presiden dan wakil presiden. Namun, syaratnya, sepanjang warga negara tersebut diusulkan oleh parpol peserta pemilu. Itu saja sudah membatasi HAM. Sehingga tidak pas pada pemilu serentak dibatasi lagi HAM dengan presidential threshold.
Alasannya sederhana, secara logika dasar, setiap parpol memiliki naluri berkuasa. Untuk itu, mereka akan mempertimbangkan kepentingan dalam koalisi. Jadi, parpol akan menghitung apa, siapa dan bagaimana koalisinya. Seandainya ada 16 parpol peserta pemilu. Atau bahkan, jika ada 20 parpol pun. Tidak mungkin ada parpol kecil atau pendatang baru yang berani maju sendirian.
Sudah bisa dipastikan, parpol akan berkoalisi. Seminimalnya, ada dua parpol saja. Sehingga, pemilih mendapatkan ketersediaan pilihan. Sedangkan pemilik hak untuk dipilih sebagai calon Presiden dan Wakil Presiden akan bertambah. Jika sekarang hanya ada empat orang, Jokowi-Ma'ruf Amin dan Prabowo-Sandi. Bisa jadi ada sekitar dua atau empat paslon lain.
Panjang Umur Perjuangan
Dari empat alasan diatas, Presidential Threshold menjadi masalah hukum dan politik. Mulai dari masalah kata dan pengertian serta teknis Presidential Threshold. Pembahasan hitungan angka proporsionalkah dan bagaimana rumus hitungnya. Lalu, konsep pemenuhan dan pembatasan HAM. Terakhir, penyempurnaan perundang-undangan pemilu serentak.
Sehingga, ikhtiar JR Presidential Threshold harus dilanjutkan. Baik oleh para pegiat, peneliti, akademisi, maupun partai politik peserta pemilu. Kondisi pemilu Indonesia akan membahayakan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bila elit politik hanya menyuguhkan dua paslon Presiden dan Wakil Presiden saja. Pembelahan masyarakat yang terawat dalam waktu yang panjang mampu menghilangkan budaya nusantara dan mengarahkan kita pada perang politik sipil.
Bayangkan, 10 tahun masyarakat akan berkelahi, baik di dunia nyata maupun maya. Selama itu juga, pertikaian oral dan fisik bisa terjadi. Tentu saja, para Hakim Konstitusi harus mempertimbangkan situasi politik bangsa. Lebih bahaya jika, electoral threshold menyederhanakan parpol di senayan tanpa solusi. Misalnya, parpol yang tetap memiliki hak maju saat pendaftaran peserta pemilu. Ini juga masalah yang harus diantisipasi.