Putusan Mahkamah Konstitusi yang kembali menolak judicial review Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 terkait ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold), adalah keputusan pahit dalam menjaga ketersediaan pilihan dalam pemilihan calon Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia.Â
Hal ini (Putusan MK) tentu menjadi perdebatan, apakah Presidential Threshold sudah konstitusional?
Ada beberapa hal yang perlu dibahas. Pertama, pengertian yang beda. Presidential Threshold adalah syarat keterpilihan calon presiden dan wakil presiden. Sedangkan kebijkan legislasi (open legal policy) menyatakan bahwa presidential threshold gaya Indonesia adalah ambang batas pencalonan dan keterpilihan pasangan calon presiden dan wakil presiden Indonesia.
Dalam sebuah tulisan yang cukup sering kita baca. Bahwa pemilihan kata Presidential Threshold tidak bisa dipakai di Indonesia. Karena ada syarat di dalam pengertian tersebut. Yaitu ambang batas pencalonan dan keterpilihan.
Sehingga, bila ingin merubah kata, perlu ada diskusi mendalam terkait kata Presidential Threshold. Karena, pemikir kepemiluan dunia akan heran jika Presidential Threshold yang mereka pahami. Ternyata makanya diperluas oleh pembentuk undang-undang di Indonesia.
Pemilu yang Terpisah
Perdebatan pengertian Presidential Threshold ini mungkin selesai, ketika ada syarat kedua, yaitu pemilihan calon anggota DPR lebih dahulu dari pemilihan presiden. Bolehlah konstitusional presidential threshold gaya indonesia. Tetapi saat pemilihan serentak, maka presidential treshold harus kembali ke makna awal yaitu hanya "keterpilihan".
Kenapa pemilu terpisah mendasari konstitusional Presidential Threshold ala Indonesia? Jawabannya sederhana. Saat rakyat memilih calon anggota DPR, DPD, dan DPRD. Maka, rakyat dengan kedaulatan melalui pemilu memberikan sebahagian kewenangannya kepada legislator. Jadi, saat para wakil suara rakyat hasil pemilu mengusung calon Presiden dan Wakil Presiden. Itu sama saja dengan mewakili suara pemilih yang memilihnya.
Dalam konsep pengusungan pasangan calon pada pilpres. Sekelompok legislator menyusun kriteria khusus. Dengan bentuk musyawarah mufakat atau konvensi. Terpilihlah nama-nama bakal calon Presiden dan Wakil Presiden. Hasil seleksi awal ini, kemudian diserahkan kepada parpol peserta pemilu. Tujuannya untuk memilih yang pada muaranya mengusung pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden.
Ketiga, saat presidential threshold konstitusional akibat pemilu yang terpisah. Maka, angka 20% dan 25% yang merupakan angka matematika. Harus memiliki dasar hukum yang kuat. Sehingga butuh ahli matematika pemilu yang memberikan tanggapan apakah angka-angka itu berasal dari hitungan matematika dan apakah jumlah tersebut memiliki dasar proporsional? Belum ada ahli matematika pemilu -sepanjang yang saya ketahui- menjelaskan angka 20% dan 25%.