Tiga orang DWI dengan satu SAID, memberi makna malam sabtu. Suara-suara ini berasal dari UNU Indonesia, di Jalan Taman Amir Hamzah, Jakarta Pusat, Jum'at, 26 Januari 2018.
Malam ini, mulai pecah, suara merdu Dwi Putri, mahasiswi Pegiat Sastra UNU Indonesia. Dwi Putri merasakan kebahagiaan dengan forum "Bincang Novel Darah Muda".
Bagaikan "mendapatkan kesempatan emas" kata satu-satunya perwakilan perempuan diantara empat orang diatas panggung.
Dwi Putri mengisahkan makna "kejujuran" sebagai kata kunci penulis. Apakah jujur itu penting? Bagi Dwi Putri, menggerakkan tangan untuk mengurai kata dan kalimat butuh kata "jujur".
Waktu tidak terasa, meskipun waktu terus berjalan. Suara merdu Dwi Putri menceritakan ulang sang "aku" dalam menjalani kehidupan "Darah Muda".
Setelah sebelumnya membayangkan kisah romansa anak muda "zaman now". Ternyata Dwi Putra mendapati "aku" berhasil mengoyak pertahanan emosi.
Relung hatinya hanyut setelah membaca lembar demi lembar. Bahwa "aku" adalah korban ego antar keluarga ayah dan ibu "aku".
"Aku sungguh menyedihkan," ucap pemilik nama Dwi Putri. Diantara kehidupan "aku"; salah satu kisah adalah diskriminasi atas si "aku" oleh pamannya sendiri.
Dwi Winarno, pendidik Sosiologi UNU Indonesia adalah aktifis. Hidupnya mendidik dan bergerak demi gerakan.
"Aku membaca aku dari akhir ke awal," kata pelatih organisasi mahasiswa ini.
Cara berfikir sang aktifis menggeliat melihat kisah "aku". Tetapi, Dwi Winarno melihat "Darah Muda" mengisahkan aktifisme.
Dwi Winarno melihat pemberontakan gaya "darah muda" dari sisi lain. Sang pencipta "aku" adalah pemberontakan humanisme para pembaca.
Dwi Winarno gagal memahami Dwi Cipta. "Aku" dan "Darah Muda" tetaplah perjuangan literasi. Sebuah kisah tentang "aku-aku" yang lain. Perjuangan "aku" membawa pesan-pesan yang mencoba mengetuk pintu "keakuan".
Dua Dwi membaca Dwi pencipta "aku" dengan Darah Mudanya. Mungkinkah ini suatu pengisahan ulang "aku" oleh pencipta aku? Aku tetap aku dengan keliahaian sang aku menuliskan kisah aku.
Suara malam pun menggilir pada aku yang menciptakan aku dan Darah Mudanya. Dia bernama Dwi Cipta, menghimpun kata-kata sejak kecil. Ingin menyampaikan semua kisah.
Aku mengakui sebagian kisah aku adalah keakuan yang nyata. Darah Muda merupakan kisah pemberontakan. Bukan yang langsung bagaikan parlemen jalanan bersuara. Tetapi Darah Muda yang memberontak dunia pikiran.
Perjalanan aku untuk menyelesaikan aku cukup lama. "Aku butuh tujuh tahun," kata Dwi Cipta.
"Kata-kata Satre" membuka semua kisah aku kecil. Jika kata-kata Satre merupakan hidup perjuangan sang tokoh. Kata-kata Satre menampilkan hidup yang tertata. Sebuah kesesuaian yang mengarahkan kehidupan akhir.
Aku dan Darah Mudanya Dwi Cipta mengisahkan kehidupan yang tidak linier. Perjuangan aku-aku dimasa kecil. Terkadang tidak memiliki jalan yang tertata. Jalan yang menciptakan aku di usia tuanya ala "Kata-kata Satre".
Sekarang waktu sudah cukup lama menyita aku-aku. Mereka yang mendengarkan pencipta aku. Tanpa terasa, "Aku hanya ingin mengejar mimpi masa kanak-kanakku," kata aku di halaman 282, "Darah Muda" sebuah novel kisah aku.
Terima kasih Said, non-DWI yang memiliki kemampuan penghimpun keakuan dan aku-aku. Selamat mengupas AKU dan Darah Mudaku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H