Cara berfikir sang aktifis menggeliat melihat kisah "aku". Tetapi, Dwi Winarno melihat "Darah Muda" mengisahkan aktifisme.
Dwi Winarno melihat pemberontakan gaya "darah muda" dari sisi lain. Sang pencipta "aku" adalah pemberontakan humanisme para pembaca.
Dwi Winarno gagal memahami Dwi Cipta. "Aku" dan "Darah Muda" tetaplah perjuangan literasi. Sebuah kisah tentang "aku-aku" yang lain. Perjuangan "aku" membawa pesan-pesan yang mencoba mengetuk pintu "keakuan".
Dua Dwi membaca Dwi pencipta "aku" dengan Darah Mudanya. Mungkinkah ini suatu pengisahan ulang "aku" oleh pencipta aku? Aku tetap aku dengan keliahaian sang aku menuliskan kisah aku.
Suara malam pun menggilir pada aku yang menciptakan aku dan Darah Mudanya. Dia bernama Dwi Cipta, menghimpun kata-kata sejak kecil. Ingin menyampaikan semua kisah.
Aku mengakui sebagian kisah aku adalah keakuan yang nyata. Darah Muda merupakan kisah pemberontakan. Bukan yang langsung bagaikan parlemen jalanan bersuara. Tetapi Darah Muda yang memberontak dunia pikiran.
Perjalanan aku untuk menyelesaikan aku cukup lama. "Aku butuh tujuh tahun," kata Dwi Cipta.
"Kata-kata Satre" membuka semua kisah aku kecil. Jika kata-kata Satre merupakan hidup perjuangan sang tokoh. Kata-kata Satre menampilkan hidup yang tertata. Sebuah kesesuaian yang mengarahkan kehidupan akhir.
Aku dan Darah Mudanya Dwi Cipta mengisahkan kehidupan yang tidak linier. Perjuangan aku-aku dimasa kecil. Terkadang tidak memiliki jalan yang tertata. Jalan yang menciptakan aku di usia tuanya ala "Kata-kata Satre".
Sekarang waktu sudah cukup lama menyita aku-aku. Mereka yang mendengarkan pencipta aku. Tanpa terasa, "Aku hanya ingin mengejar mimpi masa kanak-kanakku," kata aku di halaman 282, "Darah Muda" sebuah novel kisah aku.