Mohon tunggu...
Andrian Habibi
Andrian Habibi Mohon Tunggu... Konsultan - Kemerdekaan Pikiran

Menulis apapun yang aku pikirkan. Dari keresahan atau muncul untuk mengomentari sesuatu. Cek semua akun dengan keynote "Andrian Habibi".

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Pengebirian Teknis Verifikasi Faktual

24 Januari 2018   19:10 Diperbarui: 25 Januari 2018   16:01 928
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buku Mengawal Penegak Demokrasi. (Foto: Gunawan Suswanto)

Keputusan Mahkamah Konstitusi menetapkan verifikasi faktual bagi seluruh partai politik calon peserta pemilu tahun 2019. Dengan demikian, MK menyatakan bahwa Pasal 173 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu inkonstitusional.

 Sehingga, Pembentuk UU harusnya langsung merevisi ketentuan syarat calon peserta pemilu. Bukannya merubah. Pembentuk UU malah sepakat tidak merevisi, bahkan terkesan melawan putusan MK.

Komisi II DPR RI sebagai bagian pembentuk UU malah memperdebatkan kata faktual. Dengan berbagai alasan. Komisi II DPR, secara mayoritas memaksa KPU untuk mengakali kata verifikasi faktual. Lucu.

Apakah elit politik ketakutan dengan teknis verifikasi faktual?

Pertanyaan ini tentu patut direnungkan. Kalau partai siap secara organisasi. Tentu verifikasi faktual bukan hambatan. Kalau perlu, partai politik bisa membantu tim verifikator. Dengan semangat transparansi, semua mata akan menilai. Partai mana yang benar-benar mengurusi kelembagaan.

Nah, bila putusan MK bersifat final dan mengikat. Tetapi Pembentuk UU melakukan perlawanan makna. Sah-sah saja publik menilai partai politik itu penakut. Tidak berani terbuka. Atau omong doang saat mengatakan penguatan demokrasi. Buktinya, jangankan menguatkan, Partai politik malah melemahkan subtansi pilar demokrasi. Menyedihkan!

KPU Lemah

Lain Komisi II DPR, lain lagi Komisi Pemilihan Umum. Bukannya memperjuangkan penehakan hukum atas putusan MK. KPU malah berusaha untuk mengakomodir keinginan politik. Entah apa yang muncul di benak Komisioner. Mengalah dan membuktikan dirinya lemah.

Buku Mengawal Penegak Demokrasi. (Foto: Gunawan Suswanto)
Buku Mengawal Penegak Demokrasi. (Foto: Gunawan Suswanto)
Padahal Anggota KPU Periode 2012-2017 telah menentang kuasa politik. Pasal yang mencengkram "kemandirian KPU" telah dibatalkan MK. Sehingga, KPU memiliki kekuatan "Kemandirian" sesuai amanah konstitusi. Dengan kata lain, KPU tidak perlu takut kepada Komisi II DPR. Lawan saja. Karena membantah Perintah Putusan MK, sama saja telah melawan kepatuhan terhadap putusan peradilan.

Kelemahan menjaga kemandirian KPU pun menjadi masalah baru. Sejak tahapan pendaftaran calon peserta pemilu. Para mantan anggota KPU membantu anggota KPU periode 2012-2017. Kita masih ingat, bagaimana prahara Sistem Informasi Partai Politik (Sipol)? Mantan membantu Anggota. Bahkan, mereka hadir untuk memberikan semangat kelembagaan saat penetapan hasil Sipol.

Tetapi, kemesraan itu pun luntur. Bagaikan persaudaraan yang retak. Empat mantan Anggota KPU memberikan peringatan kerar. Mereka -Juri Ardiantoro, Hadar Nafis Gumay, Sigit Pamungkas dan Ferry Kurnia Rizkiyansyah- menyampaikan siaran pers. Pada pokoknya mengingatkan KPU untuk menjaga kemandirian lembaga. Sebagaimana semangat perjuangan melawan kuasa politik.

Pun, menyarankan agar KPU tetap melaksanakan verifikasi faktual. Tentu saja verifikasi faktual yang sama dengan Partai Persatuan Indonesia (Perindo), Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Gerakan Perubahan Indonesia (Garuda) dan Partai Beringin Karya (Berkarya).

Aksi KIPP Jakarta. (Dokumentasi media)
Aksi KIPP Jakarta. (Dokumentasi media)
Mengebiri Verifikasi

Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Komisi II DPR dengan Kementrian Dalam Negeri, KPU, Bawasku dan DKPP telah menggetarkan langit demokrasi Indonesia. Ketentuan tersebut secara jelas memupus kepercayaan akan kepatuhan terhadap putusan peradilan (MK). Sekaligus membuktikan KPU Melayani benar-benar melayani peserta pemilu (partai politik).

Kesepakatan RDP tersebut antara lain; Pertama, menghapus ketentuan verifikasi faktual untuk menyaring partai peserta Pemilu 2019. Kedua, Putusan MK hanya meminta semua partai politik wajib melalui tahapan verifikasi. Sebagai jalan menjadi peserta pemilu. Dengan dalih Verifikasi Faktual tidak ada di UU 7/2017. Maka kata verifikasi dapat dimaknai dengan makna baru. Sepanjang Komisi II DPR dan KPU sama-sama senang.

Ketiga, membatalkan verifikasi faktual yang sedang dilaksanakan kepada empat partai politik. Jadi, Perindo, PSI, Partai Garuda dan Partai Berkarya langsung lolos sebagai peserta pemilu 2019. Keempat, Komisi II DPR mendesak KPU untuk melaksanakan kesepakatan yang dihasilkan oleh RDP tersebut.

Oleh sebab itu, kesepakatan RPD telah mengebiri verifikasi faktual. Dengan dalil apapun, verifikasi faktual haruslah sama. Baik partai politik lama maupun baru. Karena, kesamaan akan pemenuhan hak menjadi peserta pemilu 2019. Merupakan hak yang sudah memiliki pembatasan (syarat) yang adil untuk semua.

Bila KPU menyusun verifikasi faktual yang tidak sama. Jelas, verifikasi faktual menjadi alat permainan politik. Faktual yang berarti sesuai dengan fakta atau kenyataan lapangan. Menjadi fatual yang sesuai dengan selera politik.

Sungguh pengebirian verifikasi faktual sangat nyata. Teringat pesan Pramodya Ananta Toer, "adillah sedari pemikiran."

Oleh Andrian Habibi, Pegiat Ham dan Demokrasi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun