Mohon tunggu...
Andrian Habibi
Andrian Habibi Mohon Tunggu... Konsultan - Kemerdekaan Pikiran

Menulis apapun yang aku pikirkan. Dari keresahan atau muncul untuk mengomentari sesuatu. Cek semua akun dengan keynote "Andrian Habibi".

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pemilu Kerakyatan

1 Desember 2017   01:17 Diperbarui: 1 Desember 2017   01:24 964
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mohammad Hatta pada tahun 1932, menyampaikan pemikirannya tentang Kearah Indonesia Merdeka (KIM) yang dianggap sebagai teori pertama perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Dalam pandangan Hatta, Kerakyatan atau Kedaulatan Rakyat adalah paham demokrasi Indonesia. Paham ini, lanjut Hatta, berdasarkan kepada tiga prinsip yaitu rapat, massa protes dan tolong menolong atau kolektifitas.

Prinsip pertama bukanlah sesederhana yang kita pahami saat ini. Rapat menurut Hatta adalah tempat rakyat melakukan musyawarah dan mufakat tentang segala urusan yang berkaitan dengan perselutuan hidup dan keperluan bersama.

Bila dilihat dalam bentuk kekinian, rapat yang dimaksud oleh Bung Hatta berbentuk pembahasan Rancangan Undang-Undang untuk menetapkan aturan hidup berbangsa dan bernegara.

Rapat sekarang tentu melibatkan kewenangan eksekutif dan legislatif. Karena kedaulatan berada di tangan rakyat dilaksanakan oleh Undang-Undang (Pasal 1 ayat 2 UUD 1945).

Jadi, untuk melaksanakannya, Pemerintah bersama-sama dengan DPR melakukan pembahasan untuk mendapatkan persetujuan bersama (Pasal 22 ayat 2 UUD 1945). Setelah disepakati, UU pun hadir untuk ditaati sebagai arah kehidupan dan kepentingan bersama.

Prinsip kedua adalah massa protes. Bung Hatta mangatakan bahwa massa protes adalah hak rakyat untuk berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat mengenai segala peraturan perundang-undangan yang tidak adil.

Pandangan kedua ini diakomodasi oleh Konstitusi Indonesia (Pasal 28 UUD 1945). Sehingga, warga negara bebas membentuk organisasi masyarakat, partai politik dan sebagainya untuk berpartisipasi aktif dalam pemerintahan.

Tentu saja, sepanjang yang saya pahami, partisipasi aktif ini termasuk dalam hal pemenuhan hak asasi manusia (Pasal 28 A -- 28 J UUD 1945). Termasuk kegiatan demontrasi, pemantauan dan/atau advokasi.

Semua bentuk ini merupakan satu kesatuan yang bermula dari rapat, pembentukan organisasi dan penyampaian pendapat juga perjuangan mempengaruhi kebijakan pemerintah atas nama kepentingan rakyat.

Prinsip ketiga adalah tolong menolong atau kolektivitas. Bung Hatta menyatakan bahwa tolong menolong atau kolektifitas yaitu penyusunan perekonomian nasional yang terdesentraslisasi. Dalam pandangan ini bung Hatta mengusulkan koperasi sebagai pondasi perekonomian nnasional. Jadi, setiap organisasi dan aktifitas Pemerintahan juga lembaga masyarakat dianjurkan untuk berkoperasi demi menyokong dana kegiatan.

Namun perkembangan zaman menolak usul Bung Hatta bahwa saat ini kegiatan perkoperasian tidak menjadi penyokong utama kegiatan apapun secara nasional. Bahkan bila kita menyinggung organisasi partai politik, pondasi dana mereka berasal dari donatur dan pejabat publik juga pengusaha yang masuk kedalam persekutian politik.

Kalau boleh jujur, paska bertambahnya Bantuan Keuangan Partai Politik dari APBN, partai masih saja berniat meminta lebih.

Akhir-akhir ini, dana saksi partai di Tempat Pemungutan Suara (TPS) sempat diupayakan berasal dari keungan Negara. Karena sulit diterima oleh akal sehat, sebahagian elit politik berharap pelatihan saksi dilakukan oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).

Anda sudah bisa meramalkan asal uang pelatihan saksi? Benar, dananya masuk kedalam penganggaran Bawaslu untuk persiapan penyelenggaraan pemilu 2019.

Kerakyatan dalam Pemilu

Dari pemikiran Bung Hatta inilah muncul konsensus baru terkait kepemiluan, yaitu Pemilu Kerakyatan. Konsep ini ditawarkan oleh rekan-rekan pegiat kepemiluan di Jaringan Pendidikan Pemilu untuk Rakyat atau lebih dikenal dengan JPPR.

Akan tetapi, Pemilu Kerakyatan ini ternyata sama abstraknya dengan Demokrasi Kerakyatan versi Bung Hatta. Bagi saya, Pemilu Kerakyatan tidak begitu jelas dari artian teori sampai kepada teknis pelaksanaannya.

Pandangan saya, Pemilu Kerakyatan adalah turunan dari Demokrasi Kerakyatan. Jadi prinsip utamanya pun mengikuti prinsip Demokrasi Kerakyatan.

Apabila kita runutkan satu persatu maka bisa dipahami bahwa Pemilu Kerakyatan adalah Pemilu yang mengilhami nilai-nilai luhur dalam kehidupan masyarakat dengan ketentuan perundang-undangan. Nilai-nilai ini berasal dari sila Pancasila dan UUD 1945.

Untuk mencapai harapan Pemilu Kerakyatan, maka prinsip pertamanya adalah rapat terbuka dan mengedepankan kepentingan publik. Dalam hal ini, kita mengetahui bahwa pembahasan Kitab Rancangan Undang-Undang Tentang Penyelenggaraan Pemilu (RUU Pemilu) belum bisa dikatakan melaksanakan prinsip rapat yang dianjurkan oleh Bung Hatta. Menurut saya, pembahasan RUU Pemilu bukanlah musyawarah dan mufakat untuk kepentingan dan kehidupan bersama.

Pembahasan RUU Pemilu bahkan terkesan merupakan musyawarah dan mufakat untuk kepentingan politik bukan kepentingan rakyat. Lihat saja, janji pengesahan yang sudah berlarut dalam angan, kalau bukan termasuk Pemberian Harapan Palsu.

Iya, memang harus fokus untuk menyempurnakan UU Pemilu. Tetapi lihatlah apakah niat penyempurnaan UU tersebut memang terjadi? Sungguh semua sekedar ucapan janji manis.

Kedua, massa protes dalam bentuk organisasi masyarakat sipil sudah menyatakan pandangan sejak lama. Bahkan gabungan OMS bernama Koalisi Kodifikasi UU Pemilu sudah melakukan kajian, membuat nahkah akademik dan puluhan seminar juga diskusi.

Akan tetapi, semua tidak bisa mengawal pembahasan RUU Pemilu. Parahnya, salah satu anggota DPR menyatakan bahwa pendapat dari pakar dan pegiat pemilu tidak cukup berarti bagi penyempurnaan UU Pemilu.

Pendapat itu diucapkan saat para wakil rakyat tersebut belajar kepemiluan ke Jerman dan Meksiko. Hasilnya? Tetap saja pembahasan RUU Pemilu tidak bisa diselesaikan sesuai janji yang diucapkan.

Bukan hanya itu, proses pendewasaan politik pun jauh dari semangat memberikan pendidikan politik bagi rakyat. Menurut saya, sekarang elit politik mengajarkan bagaimana cara membohongi rakyat atau minimal menyebarluaskan PHP tanpa harus merasa bersalah.

Ketiga, keuangan partai yang akan terus bertambah dari pemodal dan keuangan Negara. KPK dan Kemendari sudah menyepakati Bantuan Keuangan Partai Politik. Sebelumnya sudah ada jaminan pembiayaan kampanye kepala daerah oleh Negara.

Bisa jadi kedepan kampanye calon legislatif, pasangan Presiden dan Wakil Presiden akan dibiayai oleh Negara. Bisa-bisa semua kegiatan partai kedepan menggunakan uang Negara.

Oleh sebab itu, untuk menjaga semangat demokrasi yang sesuai dengan kehidupan berbangsa dan bernedara di Indonesia. Maka, Pemilu Kerakyatan hadir sebagai upaya pengawalan kedaulatan rakyat.

Fokusnya adalah musyawarah dan mufakat untuk regulasi yang menguatkan teknis juga subtansi penyelenggaraan pemilu. Pemberdayaan masyarakat sipil dalam pembahasan dan pengawasan untuk memastikan keadilan dan kepastian hukum. Terakhir, penguatan partai politik yang modern dan profesional tanpa memberatkan keuangan Negara.

Kita semua menunggu janji pengesahan RUU Pemilu yang sudah berkali-kali tidak pernah ditepati.

Tulisan ini sebelum UU No.7/2017 disahkan. Semoga masih ada mamfaatnya

Andrian Habibi adalah Pegiat Ham di PBHI Nasional dan KIPP Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun