Namun perkembangan zaman menolak usul Bung Hatta bahwa saat ini kegiatan perkoperasian tidak menjadi penyokong utama kegiatan apapun secara nasional. Bahkan bila kita menyinggung organisasi partai politik, pondasi dana mereka berasal dari donatur dan pejabat publik juga pengusaha yang masuk kedalam persekutian politik.
Kalau boleh jujur, paska bertambahnya Bantuan Keuangan Partai Politik dari APBN, partai masih saja berniat meminta lebih.
Akhir-akhir ini, dana saksi partai di Tempat Pemungutan Suara (TPS) sempat diupayakan berasal dari keungan Negara. Karena sulit diterima oleh akal sehat, sebahagian elit politik berharap pelatihan saksi dilakukan oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Anda sudah bisa meramalkan asal uang pelatihan saksi? Benar, dananya masuk kedalam penganggaran Bawaslu untuk persiapan penyelenggaraan pemilu 2019.
Kerakyatan dalam Pemilu
Dari pemikiran Bung Hatta inilah muncul konsensus baru terkait kepemiluan, yaitu Pemilu Kerakyatan. Konsep ini ditawarkan oleh rekan-rekan pegiat kepemiluan di Jaringan Pendidikan Pemilu untuk Rakyat atau lebih dikenal dengan JPPR.
Akan tetapi, Pemilu Kerakyatan ini ternyata sama abstraknya dengan Demokrasi Kerakyatan versi Bung Hatta. Bagi saya, Pemilu Kerakyatan tidak begitu jelas dari artian teori sampai kepada teknis pelaksanaannya.
Pandangan saya, Pemilu Kerakyatan adalah turunan dari Demokrasi Kerakyatan. Jadi prinsip utamanya pun mengikuti prinsip Demokrasi Kerakyatan.
Apabila kita runutkan satu persatu maka bisa dipahami bahwa Pemilu Kerakyatan adalah Pemilu yang mengilhami nilai-nilai luhur dalam kehidupan masyarakat dengan ketentuan perundang-undangan. Nilai-nilai ini berasal dari sila Pancasila dan UUD 1945.
Untuk mencapai harapan Pemilu Kerakyatan, maka prinsip pertamanya adalah rapat terbuka dan mengedepankan kepentingan publik. Dalam hal ini, kita mengetahui bahwa pembahasan Kitab Rancangan Undang-Undang Tentang Penyelenggaraan Pemilu (RUU Pemilu) belum bisa dikatakan melaksanakan prinsip rapat yang dianjurkan oleh Bung Hatta. Menurut saya, pembahasan RUU Pemilu bukanlah musyawarah dan mufakat untuk kepentingan dan kehidupan bersama.
Pembahasan RUU Pemilu bahkan terkesan merupakan musyawarah dan mufakat untuk kepentingan politik bukan kepentingan rakyat. Lihat saja, janji pengesahan yang sudah berlarut dalam angan, kalau bukan termasuk Pemberian Harapan Palsu.