Kasus Lurah Susan membuka hikmah soal perbedaan yang nyata di bangsa ini dan sebuah proses belajar menemukan perumusan cara kita bersatu kembali. Kedewasaan bangsa ini kembali diuji dan semoga tidak memerlukan biaya sosial yang terlalu tinggi. Namun momen ini penting bagi semua pihak dan mereka yang belajar dengan cerdas, akan menemukan kemajuan. Setidaknya saat ini adalah mental maju.
Anis Matta dengan tegas menjelaskan bahwa bangsa ini bukan tipe konfrontasi. Bangsa ini punya kolektivisme yang tinggi. Tercermin dalam budaya gotong royong dan keberhasilan Gajah Mada merealisasikan sumpah palapa yang menyatukan nusantara.
Jadi, alih-alih disuruh menunjukkan siapa yang benar dan siapa yang salah, malah mencari dan mengumpulkan kebaikan dari kedua kubu dan menyatukannya. Demikian Anis Matta sampaikan dalam silaturahmi kebangsaan yang digagas oleh partai Golkar.
Inilah yang membuat bangsa ini memiliki budaya yang beragam, dan dengan bentuk kreasi yang indah dan memuaskan banyak pecinta seni dari maca negara. Karena sejak lama akulturasi budaya di negeri ini memang terus terjadi. Sehingga bisa dikatakan mewakili rasa keindahan lebih banyak dan beragam.
Itulah yang menjelaskan mengapa bangsa ini tidak terlalu suka dengan budaya benar dan salah yang terlalu saklek. Sehingga ada kalanya proses hukum untuk membuat sesuatu itu jelas benar dan salahnya, terkadang harus berlarut-larut. Saya pikir lebih didasari oleh sikap tidak suka konfrontasi.
Dengan demikian seorang Lurah Susan atau Ahok yang memegang posisi-posisi tertentu untuk membereskan sesuatu masalah, saya pikir tidak perlu menjadi sesuatu yang terlalu sensitif, selama merekapun dinilai dalam kadar menjalankan tugasnya bisa dengan yang diharapkan.
Sebagai seorang muslim saya melihat refleksi menghargai sisi 'amal sholeh ini sungguh tinggi. Sampai Allah SWT menyatakan 'teramat besar murka-Nya' bila ada yang berkata tanpa 'amal sholeh. Sehingga sejauh ada seorang manusia yang mampu menunjukkan sebuah efektivitas 'amal sholeh, tentu harus kita hargai sebagai anugerah dari Allah kepada kehidupan ini.
Termasuk juga ketika Rasulullah memarahi sahabat yang membunuh musuh, walaupun dia sudah bersyahadat. Hanya karena sahabat menduga syahadatnya itu hanya tipuan. Rasulullah mengecam menduga seperti itu dan marah pengambilan tindakan atas sebuah dugaan.
Buat saya, surat Al-Ashr cukup menjadi peringatan tentang ruginya kita bila terus medikotomiskan sisi iman dan 'amal sholeh. Selayaknya sisi iman dan amal sholeh harus lengkap dimiliki oleh kepemimpinan yang paripurna. Keduanya penting, karena kita tidak bisa bertindak tanpa keyakinan dan keyakinan pun tiada artinya bila tidak berdampak kepada tindakan. Mereka yang merugi yang tidak pernah terpikir menggabungkan dua keahlian itu.
Hanya saja, kita semua harus memahami apa itu iman dan 'amal sholeh itu dengan cerdas dan cermat. Sehingga pemahaman itu membawa kita kepada pemikiran dan sikap dalam hidup bersama dalam kepemimpinan bangsa ini dan peradaban ini.
Saat ini tokoh seperti Jokowi, Dahlan Iskan dan beberapa yang lain muncul sebagai representasi efektifitas amal sholeh. Termasuk Ahok. Kemudian segolongan bangsa ini mendambakan dan mengidolakannya, dimana mereka merasa terwakili karena eksistensi mereka yang lebih kuat sebagai amal sholeh.
Selanjutnya, ada sejumlah besar lagi golongan yang masyarakat bangsa ini yang lebih kental dalam sisi keimanannya. Masyarakat ini juga bukan golongan terbelakang. Mereka memiliki kehidupan ukhrowi yang matang dan insya Allah berada dalam keridhoan-Nya. Sehingga kehendak dan upaya manusiawi bisa disempurnakan dengan ruhiyah kehambaan yang benar dengan pencipta semesta ini.
Maka, perpaduan kedua karakter inilah yang ditegaskan dalam QS. Al-Ashr yang terbebas dari kerugian akibat berjalannya waktu. Jadi daripada sibuk mencari siapa yang lebih benar sampai harus mengorbankan kebeningan hati, dst. mendingan kita melengkapi kepemimpinan bangsa ini dengan perpaduan antara 'amal sholeh yang efisien dan keimanan yang efektif.
Saya pikir, perpaduan kepemimpinan yang memadukan kedua sisi itu bisa membuat tenang masyarakat berbangsa di negeri ini sehingga perbaikan yang efisien dan efektif bisa berjalan dengan konstruktif. Dikotomi islami dan sekuler (atau lainnya) saya pikir bangsa ini sudah tidak memerlukannya lagi. Karena semua kebaikan pasti mendapat tempat di bumi ini.
Jangan hanya karena berbeda keyakinan kemudian membuat praktek berbangsa menjadi terganggu. Tidak perlu menjadi berlebihan ketika keyakinan agama itu berbeda. Toh kita bisa hidup dalam lingkungan kemanusiaan. Dan saya yakin, memang Tuhan telah sempurnakan nilai-nilai yang dikandung oleh islam untuk hidup dalam ruang kemanusiaan itu.
Jadi kalau Ahok punya kapabilitas dalam bekerja yang efisien, bisa saja dia menjadi Presiden RI setuju? Termasuk juga tokoh-tokoh lain yang punya kapabilitas dalam sisi kerja yang efisien. Asal sisi keimanan bangsa ini ada yang menjaminnya, sehingga tidak timbul keresahan.
Bila kedua karakter tokoh yang sementara ini seperti berada dalam sisi ekstrim yang berbeda bisa duduk dalam kepemipinan bangsa ini, saya yakin Bhinneka Tunggal Ika bangsa ini menemukan keberkahannya dan membawa bangsa ini menjadi bangsa yang besar dan menjadi guru peradaban dunia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H