Proklamasi Indonesia dulu mendapat pengakuan pertama dari Mesir atas desakan IM. Dengan demikian penistaan kemanusiaan oleh manusia kepada manusia lain secara tidak beradab, bisa dihentikan. Sehingga kemerdekaan suatu bangsa secara beradab buat IM adalah karakter lama yang konsisten sampai saat ini.
Dan saat ini IM tengah memperjuangkan bangsa Mesir untuk kemerdekaannya. Karena kembalinya kekuasaan militer dengan merusak tatanan kepemimpinan dari mekanisme proses yang disepakati secara internasional, yakni demokrasi melalui KUDETA.
Kemudian kekeliruan militer Mesir ditutup dengan pembantaian terhadap aktivitas demontrasi. Padahal demonstrasi adalah proses yang dihargai dalam pengelolaan dinamika demokrasi. Akhirnya tindakan militer mesir ini melahirkan kecaman dari berbagai kalangan. Mulai dari Turki, menlu AS, dari Uni Eropa, Sekjen PBB dan berbagai ormas di belahan bumi termasuk di Indonesia dari Pemuda Muhammadiyah, misalnya.
Pada perjalanannya IM dan militer Mesir memang tarik ulur dalam mengelola Mesir ini. Ketika militer menguasai pemerintahan, IM membangun aktivitas ekonomi dan sosial. Sehingga pernah terjadi di tahun 1946 di saat ekonomi Mesir terpuruk, pemerintah menjalin kerja sama dengan IM yang sudah memiliki pabrik, rumah sakit, sekolah dsb.
Saya pikir titik perbedaannya ada pada sisi islamis dan sekularis. Ini adalah perseteruan lama dan lintas bangsa. Menjadi presiden dimanapun akan mendapati kendala perbedaan ini. Ketika seorang pemimpin tidak bisa muncul menengahi kedua kepentingan ini, maka akan selalu mendapat gangguan yang bisa membuat rontok agenda kepemimpinannya.
Sesungguhnya kepemimpinan Mursi mulai membuka dialog diantara kedua sisi ini. Terbukti dia dikecam oleh kalangan islamis keras dengan ungkapan tidak menjalankan syari'at Islam. Artinya dia tidak sepenuhnya bertolak belakang dengan keinginan sekularis. Ini bentuk kompromistis yang dialogis untuk membuat konsolidasi bangsa Mesir terjadi.
Sayangnya ketidakpuasan kedua belah pihak yang ekstrim ini menjadi menarik buat militer untuk memanfaatkan momentum ini hanya untuk menggulingkan Mursi. Celakanya pihak islamis dan sekularis cenderung merasa Mursi tidak bisa memenuhi sisi ekstrimnya itu tadi. Sehingga seolah tergambarkan kekuatan-kekuatan Mesir ini padu dan kompak mengarah kepada kudeta.
Padahal mereka terdiri dari kutub-kutub perbedaan yang jauh berbeda dan tidak akan solid. Tentu ini berbeda dengan dukungan real kepada Mursi melalui demokrasi. Sehingga kedalaman memahami keterwakilan rakyat antara pemilihan presiden melalui demokrasi akan lebih bernilai dibandingkan kepemimpinan pasca kudeta.
Bila saja kita merefleksikannya kepada proses peralihan kepemimpinan di Indonesia, Jokowi misalnya; beliau juga akan menjadi pihak yang dituntut untuk mengembangkan dialog antara sekularis dan islamis yang subur di negeri ini. Jokowi tentu akan dianggap condong kepada sekularis daripada islamis. Sehingga beliau harus melakukan blusukan kepada kaum islamis untuk mendekatkan jarak komunikasi sehingga dinilai bisa menyelami keinginan rakyat.
Jokowi atau siapapun yang akan menjadi presiden negeri ini sebaiknya bisa menjadi folder bagi perbedaan file-file yang ada. Ketika perbedaan itu tidak bisa dikomunikasikan, maka tentu akan terus melahirkan gejolak. Bila Jokowi masih terjebak dengan memposisikan berada dalam sebuah kubu dan membuat front dalam perbedaan yang ada di negeri ini, maka ancaman gangguan akan tetap hadir.
Buat kepemimpina di Jakarta, misalnya; kalau dalam setahun ini masih macet dan masih banjir atau masih ada proses perbaikan kaki lima dan penghuni daerah terlarang yang masih belum beres, bisa disebut wajar. Tapi, pengalaman dalam memimpin negara, isunya bukan sekedar fisik kemacetan, banjir dan kekumuhan. Mursi yang baru jalan setahun pemerintahannya sudah mendapatkan gonjang-ganjing sedemikian rupa.