Mohon tunggu...
Andri Kurniawan
Andri Kurniawan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Tulislah apa yang kamu pikirkan, cintailah apa yang menjadi milikmu. Kita semua berjalan menuju kesuksesan dengan caranya masing-masing, sebab ada yang harus dinanti, didoakan, serta diusahakan.

Selanjutnya

Tutup

Horor Pilihan

Teror Pocong Berwajah Gosong

28 Juni 2024   09:39 Diperbarui: 28 Juni 2024   10:23 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kartun pocong (sumber gambar: bangbara.com)

Di sebuah desa terpencil di Jawa Tengah, ada sebuah rumah tua yang sudah lama ditinggalkan. Rumah itu berada di ujung desa, dekat dengan hutan bambu yang lebat. 

Sejak bertahun-tahun, rumah itu terkenal angker. Konon, rumah itu dihuni oleh sosok pocong berwajah gosong. Cerita ini sudah menjadi legenda di kalangan warga desa.

Malam itu, hujan deras mengguyur desa. Petir menyambar-nyambar, menerangi langit yang gelap gulita. Angin berhembus kencang, membuat pohon-pohon bambu di sekitar rumah tua bergoyang seperti sedang menari. Suasana mencekam semakin terasa ketika malam semakin larut.

Di dalam rumah tua itu suasana sangat sunyi. Hanya suara gemuruh hujan dan gelegar petir yang terdengar. Tiba-tiba, dari dalam rumah, terdengar suara langkah kaki yang pelan namun pasti. Langkah kaki itu seolah-olah berjalan menuju ke arah pintu depan. 

Sosok dengan wajah tertutup kain kafan yang sudah lusuh, muncul perlahan dari balik pintu. Wajahnya yang gosong terlihat mengerikan, seakan habis terbakar. 

Sosok pocong itu berjalan dengan lompatannya yang khas, menyusuri koridor rumah yang penuh debu dan sarang laba-laba.

Di salah satu sudut desa, seorang lelaki tua, Pak Rahman, sedang duduk di beranda rumahnya. Dia adalah satu-satunya orang di desa yang pernah melihat pocong berwajah gosong itu dengan mata kepala sendiri. 

Beberapa tahun yang lalu, ketika dia masih muda, dia pernah mencoba membuktikan bahwa cerita tentang pocong itu hanya mitos belaka. Namun, apa yang dia lihat malam itu membuatnya tak pernah berani mendekati rumah tua itu lagi.

Ingatan Pak Rahman melayang ke masa lalu. Dia teringat malam itu, malam di mana dia melihat pocong itu untuk pertama kalinya. Dengan senter di tangan, dia memberanikan diri masuk ke rumah tua itu. 

Ruangan demi ruangan dia telusuri, hingga akhirnya dia sampai di sebuah ruangan besar yang tampaknya pernah digunakan sebagai ruang keluarga. Di tengah ruangan itu, dia melihat sebuah peti mati yang sudah terbuka. Saat itulah, dari dalam peti, sosok pocong itu muncul. 

Wajahnya yang gosong terlihat begitu jelas di bawah sinar senter. Tanpa berpikir panjang, Pak Rahman lari sekencang-kencangnya, meninggalkan rumah itu dan tak pernah kembali lagi.

Malam itu, ketika hujan masih deras, Pak Rahman merasa ada yang tidak beres. Dia merasakan hawa dingin yang begitu menusuk tulang. Matanya mengarah ke rumah tua di ujung desa. 

Di bawah sinar petir yang menyambar, dia melihat sesuatu yang bergerak di dekat rumah itu. Jantungnya berdebar kencang. Sosok pocong itu muncul lagi. Kali ini, pocong itu tidak hanya diam di rumah tua, tetapi mulai bergerak keluar, menuju ke desa.

Warga desa yang lain sudah terlelap dalam tidur. Tidak ada yang tahu bahwa bahaya sedang mendekat. Pak Rahman berusaha menenangkan dirinya. Dia tahu bahwa pocong itu tidak akan menyerang tanpa alasan. Dia mencoba mengingat apakah ada sesuatu yang mungkin memancing kemunculan pocong itu. Namun, pikirannya terlalu kacau untuk bisa berpikir jernih.

Sosok pocong itu semakin mendekat ke desa. Pak Rahman melihatnya dengan jelas sekarang. Lompatannya lambat, tetapi pasti. 

Setiap kali pocong itu melompat, tubuhnya yang tertutup kain kafan basah oleh hujan, membuatnya terlihat semakin menyeramkan. Wajah gosongnya yang hitam pekat terlihat jelas di bawah kilatan petir.

Di salah satu rumah, seorang ibu muda sedang menidurkan bayinya. Tiba-tiba, bayinya menangis kencang, seolah-olah merasakan kehadiran sesuatu yang jahat. Ibu itu berusaha menenangkan bayinya, tetapi tangisannya semakin keras.

Di luar rumah, pocong itu berhenti sejenak, seakan mendengar suara tangisan bayi. Lalu, dengan gerakan lambat, pocong itu melompat mendekati rumah ibu muda itu.

Pak Rahman yang melihat kejadian itu dari kejauhan, tidak bisa berbuat apa-apa. Dia hanya bisa berdoa agar pocong itu tidak mencelakai siapapun. 

Pocong itu kini berada di depan pintu rumah ibu muda tersebut. Tangan pocong yang terbungkus kain kafan berusaha membuka pintu. Namun, pintu itu terkunci. Pocong itu kemudian melompat ke arah jendela, mencoba masuk melalui celah jendela yang sedikit terbuka.

Di dalam rumah, ibu muda itu merasa ada sesuatu yang aneh. Dia melihat ke arah jendela dan terkejut melihat wajah gosong pocong itu di balik kaca jendela. Dia menjerit ketakutan, memeluk bayinya erat-erat. 

Tangisan bayinya semakin keras, seolah-olah merasakan ketakutan ibunya. Pocong itu hanya diam di balik jendela, menatap ibu dan bayinya dengan mata kosong yang mengerikan.

Pak Rahman tahu dia harus melakukan sesuatu. Dia segera berlari ke arah rumah ibu muda itu. Dengan membawa senter dan tongkat kayu, dia berusaha sekuat tenaga. 

Saat dia sampai di rumah itu, dia melihat pocong itu masih di jendela, menatap ke dalam. Tanpa berpikir panjang, Pak Rahman menghantam pocong itu dengan tongkatnya. Pocong itu terjatuh ke tanah, tetapi tidak ada suara. Pocong itu bangkit lagi, wajah gosongnya menatap Pak Rahman dengan tatapan kosong yang menakutkan.

Pak Rahman mundur perlahan, sambil mengarahkan senternya ke wajah pocong itu. Kilatan cahaya senter membuat wajah gosong itu terlihat semakin jelas. 

Pak Rahman berteriak dalam hati, mencoba mengusir pocong itu dengan doa-doa yang dia ingat. Namun, pocong itu tidak bergerak, hanya menatap Pak Rahman dengan mata kosongnya.

Tiba-tiba, dari dalam rumah, ibu muda itu muncul dengan bayinya dalam gendongan. Dia melihat Pak Rahman dan pocong itu, dan dengan cepat menyadari apa yang terjadi. 

Dengan keberanian yang tak terduga, dia berteriak kepada pocong itu untuk pergi. Pocong itu seolah mendengar suara ibu muda itu, berhenti sejenak. Lalu, dengan gerakan lambat, pocong itu melompat mundur, menjauh dari rumah.

Pak Rahman dan ibu muda itu hanya bisa menatap saat pocong itu perlahan-lahan menghilang dalam kegelapan. Hujan masih turun deras, tetapi sosok pocong itu sudah tidak terlihat lagi. Mereka berdua berdiri di sana, terdiam, masih merasakan ketakutan yang mencekam.

Setelah beberapa saat, Pak Rahman dan ibu muda itu kembali ke dalam rumah. Mereka menutup pintu dan jendela rapat-rapat, berusaha menghilangkan rasa takut yang masih membayangi. Malam itu, mereka tidak bisa tidur, terus waspada kalau-kalau pocong itu kembali.

Pagi harinya, ketika hujan reda dan matahari mulai terbit, warga desa mulai keluar dari rumah mereka. Mereka mendengar cerita dari Pak Rahman dan ibu muda itu tentang kemunculan pocong berwajah gosong. Warga desa kembali diingatkan akan legenda mengerikan yang menghantui desa mereka.

Sejak malam itu, warga desa menjadi lebih waspada. Mereka menambah penerangan di sekitar rumah mereka, dan tidak ada yang berani mendekati rumah tua di ujung desa. 

Legenda pocong berwajah gosong itu semakin mengakar di ingatan mereka, menjadi cerita yang akan diceritakan turun-temurun, sebagai pengingat akan kengerian yang pernah terjadi di desa mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun