Malam itu, ketika hujan masih deras, Pak Rahman merasa ada yang tidak beres. Dia merasakan hawa dingin yang begitu menusuk tulang. Matanya mengarah ke rumah tua di ujung desa.Â
Di bawah sinar petir yang menyambar, dia melihat sesuatu yang bergerak di dekat rumah itu. Jantungnya berdebar kencang. Sosok pocong itu muncul lagi. Kali ini, pocong itu tidak hanya diam di rumah tua, tetapi mulai bergerak keluar, menuju ke desa.
Warga desa yang lain sudah terlelap dalam tidur. Tidak ada yang tahu bahwa bahaya sedang mendekat. Pak Rahman berusaha menenangkan dirinya. Dia tahu bahwa pocong itu tidak akan menyerang tanpa alasan. Dia mencoba mengingat apakah ada sesuatu yang mungkin memancing kemunculan pocong itu. Namun, pikirannya terlalu kacau untuk bisa berpikir jernih.
Sosok pocong itu semakin mendekat ke desa. Pak Rahman melihatnya dengan jelas sekarang. Lompatannya lambat, tetapi pasti.Â
Setiap kali pocong itu melompat, tubuhnya yang tertutup kain kafan basah oleh hujan, membuatnya terlihat semakin menyeramkan. Wajah gosongnya yang hitam pekat terlihat jelas di bawah kilatan petir.
Di salah satu rumah, seorang ibu muda sedang menidurkan bayinya. Tiba-tiba, bayinya menangis kencang, seolah-olah merasakan kehadiran sesuatu yang jahat. Ibu itu berusaha menenangkan bayinya, tetapi tangisannya semakin keras.
Di luar rumah, pocong itu berhenti sejenak, seakan mendengar suara tangisan bayi. Lalu, dengan gerakan lambat, pocong itu melompat mendekati rumah ibu muda itu.
Pak Rahman yang melihat kejadian itu dari kejauhan, tidak bisa berbuat apa-apa. Dia hanya bisa berdoa agar pocong itu tidak mencelakai siapapun.Â
Pocong itu kini berada di depan pintu rumah ibu muda tersebut. Tangan pocong yang terbungkus kain kafan berusaha membuka pintu. Namun, pintu itu terkunci. Pocong itu kemudian melompat ke arah jendela, mencoba masuk melalui celah jendela yang sedikit terbuka.
Di dalam rumah, ibu muda itu merasa ada sesuatu yang aneh. Dia melihat ke arah jendela dan terkejut melihat wajah gosong pocong itu di balik kaca jendela. Dia menjerit ketakutan, memeluk bayinya erat-erat.Â
Tangisan bayinya semakin keras, seolah-olah merasakan ketakutan ibunya. Pocong itu hanya diam di balik jendela, menatap ibu dan bayinya dengan mata kosong yang mengerikan.