Mohon tunggu...
Andri Kurniawan
Andri Kurniawan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Tulislah apa yang kamu pikirkan, cintailah apa yang menjadi milikmu. Kita semua berjalan menuju kesuksesan dengan caranya masing-masing, sebab ada yang harus dinanti, didoakan, serta diusahakan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dendam Kuntilanak Merah

24 Juni 2024   15:45 Diperbarui: 24 Juni 2024   16:00 2958
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosok kuntilanak merah (sumber: m.kaskus.co.id)

Malam itu sunyi. Hanya suara jangkrik dan angin yang berhembus pelan di antara dedaunan. Di sebuah desa terpencil di pinggir hutan, terdapat sebuah rumah tua yang sudah lama ditinggalkan. Rumah itu pernah menjadi tempat tinggal keluarga Hartono, namun kini hanya menyisakan kenangan kelam yang menghantui desa tersebut.

Hartono, seorang pria paruh baya, hidup bersama istrinya, Lestari, dan putri mereka yang cantik bernama Sari. Namun, kebahagiaan mereka hancur berantakan ketika Sari ditemukan tewas dengan cara yang tragis. Tubuhnya ditemukan tergantung di pohon besar di hutan belakang rumah mereka, dengan luka-luka yang menunjukkan tanda-tanda kekerasan. 

Desas-desus mulai beredar bahwa Sari tewas karena dibunuh, dan pelakunya tidak pernah ditemukan.

Kejadian itu mengubah Lestari menjadi seorang wanita yang pendiam dan penuh duka. Ia sering terlihat berjalan sendirian di sekitar rumah tua mereka, berbicara sendiri seolah-olah masih berbicara dengan putrinya yang telah tiada. 

Disisi lain, Hartono berusaha keras melupakan tragedi itu dengan menyibukkan diri bekerja. Rasa bersalah dan kehilangan tetap menghantuinya.

Suatu malam, ketika Hartono tengah duduk di teras rumahnya, ia mendengar suara tawa perempuan dari arah hutan. Tawa itu terdengar familiar, mengingatkannya pada tawa Sari. Hatinya berdegup kencang. Dengan hati-hati, ia mengikuti suara tersebut, memasuki hutan yang gelap dan penuh misteri.

Di tengah hutan, Hartono berhenti di depan pohon besar tempat Sari ditemukan tewas. Suara tawa itu semakin jelas, dan di bawah sinar bulan yang redup, ia melihat sosok perempuan berdiri membelakanginya. Rambutnya panjang menjuntai menutupi wajah, dan gaun merah yang dikenakannya berkilauan dalam gelap. Hartono merasa ketakutan, tetapi sekaligus penasaran. Ia mendekati sosok tersebut dengan langkah perlahan.

"Tidak mungkin... Sari?" Hartono bergumam dengan suara gemetar. 

Sosok itu berbalik, memperlihatkan wajah yang penuh luka dan mata yang memancarkan kebencian. Itu bukan putrinya yang dulu dikenal, melainkan sosok menyeramkan yang dipenuhi dendam.

"Kau datang, Ayah," suara itu terdengar pelan namun penuh kemarahan. "Mengapa kau biarkan aku mati?" tanya Sari.

"Sari, maafkan Ayah. Ayah tidak tahu siapa yang melakukan ini padamu," katanya dengan suara bergetar.

"Tidak ada maaf, Ayah. Aku akan membalas dendamku, aku akan menghukum mereka yang telah menghancurkan hidupku," jawab sosok itu dengan suara yang semakin menyeramkan.

Hartono merasakan udara di sekitarnya semakin dingin dan berat. Sosok perempuan itu, yang kini ia sadari sebagai kuntilanak merah, menghilang dalam kegelapan hutan. Hartono kembali ke rumah dengan perasaan campur aduk antara ketakutan dan rasa bersalah.

Hari-hari berikutnya, desa itu diguncang oleh serangkaian kejadian aneh. Beberapa penduduk desa mengaku melihat sosok perempuan bergaun merah yang berkeliaran di malam hari. 

Mereka juga mendengar suara tawa dan tangisan di sekitar rumah Hartono dan hutan di sekitarnya. Kepanikan mulai melanda desa tersebut.

Suatu malam, Hartono menerima tamu tak terduga. Seorang pria tua dengan penampilan lusuh mengetuk pintu rumahnya. Pria itu mengaku sebagai seorang dukun yang dapat berkomunikasi dengan arwah.

"Aku mendengar tentang kejadian di desa ini. Arwah anakmu penuh dendam, dan ia tidak akan tenang sampai keadilan ditegakkan," kata dukun itu.

Hartono yang putus asa meminta bantuan sang dukun. "Apa yang harus aku lakukan untuk menenangkan arwah anakku?"

"Kau harus menemukan pelakunya. Hanya dengan begitu, arwah Sari akan tenang." Dukun itu menatap Hartono dengan serius

Dengan petunjuk dari dukun itu, Hartono mulai menyelidiki kembali kasus kematian putrinya. Ia mengunjungi beberapa orang yang dulu pernah dicurigai namun tidak cukup bukti untuk ditangkap.

Salah satunya adalah Bima, seorang pemuda yang pernah dekat dengan Sari namun ditolak cintanya. Bima dikenal sebagai orang yang temperamental dan sering bertindak kasar.

Hartono dengan tekad bulat mendatangi rumah Bima. Saat ia tiba, suasana rumah itu terasa tegang. Bima tampak gelisah, dan saat Hartono mulai bertanya tentang kejadian malam itu, Bima terlihat semakin gugup.

"Aku tidak tahu apa-apa, Pak. Tolong jangan tuduh aku tanpa bukti," katanya dengan suara gemetar.

Malam itu, Bima merasakan kehadiran yang mengerikan di rumahnya. Suara tawa perempuan yang menakutkan terdengar jelas, dan bayangan sosok bergaun merah muncul di setiap sudut. 

Bima merasa tercekik oleh ketakutan yang luar biasa. Ia berlari keluar rumah dan menuju ke rumah Hartono. Dengan nafas tersengal-sengal, Bima mengaku di hadapan Hartono.

 "Aku yang melakukannya! Aku yang membunuh Sari! Aku marah karena dia menolakku, dan aku kehilangan kendali. Maafkan aku!"jawabnya.

 "Mengapa kau lakukan itu, Bima? Sari tidak pernah menyakitimu. Kau telah menghancurkan hidupnya dan hidup kami." ujar Hartono merasa marah dan sedih.

Bima menangis tersedu-sedu, sementara dari kejauhan terdengar suara tawa kuntilanak merah yang memuaskan. 

"Aku telah mendapatkan pengakuan dari pelakunya, Ayah," suara Sari terdengar di telinga Hartono. "Sekarang aku bisa tenang." jelas sang kuntilanak.

Beberapa hari kemudian, Bima ditangkap dan diadili atas kejahatannya. Desa itu perlahan kembali tenang, dan gangguan dari kuntilanak merah pun berhenti. Hartono merasa lega meskipun hatinya masih terluka. Ia tahu bahwa Sari kini dapat beristirahat dengan tenang.

Di malam yang tenang, Hartono sering duduk di teras rumahnya, menatap ke arah hutan di mana kejadian tragis itu terjadi. Ia berharap bahwa suatu hari ia dapat bertemu kembali dengan putrinya di dunia yang lebih damai. 

Semoga kau tenang di sana, Sari, bisiknya pelan, dan angin malam membawa doa tersebut ke langit malam yang penuh bintang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun