"Aku tidak tahu apa-apa, Pak. Tolong jangan tuduh aku tanpa bukti," katanya dengan suara gemetar.
Malam itu, Bima merasakan kehadiran yang mengerikan di rumahnya. Suara tawa perempuan yang menakutkan terdengar jelas, dan bayangan sosok bergaun merah muncul di setiap sudut.Â
Bima merasa tercekik oleh ketakutan yang luar biasa. Ia berlari keluar rumah dan menuju ke rumah Hartono. Dengan nafas tersengal-sengal, Bima mengaku di hadapan Hartono.
 "Aku yang melakukannya! Aku yang membunuh Sari! Aku marah karena dia menolakku, dan aku kehilangan kendali. Maafkan aku!"jawabnya.
 "Mengapa kau lakukan itu, Bima? Sari tidak pernah menyakitimu. Kau telah menghancurkan hidupnya dan hidup kami." ujar Hartono merasa marah dan sedih.
Bima menangis tersedu-sedu, sementara dari kejauhan terdengar suara tawa kuntilanak merah yang memuaskan.Â
"Aku telah mendapatkan pengakuan dari pelakunya, Ayah," suara Sari terdengar di telinga Hartono. "Sekarang aku bisa tenang." jelas sang kuntilanak.
Beberapa hari kemudian, Bima ditangkap dan diadili atas kejahatannya. Desa itu perlahan kembali tenang, dan gangguan dari kuntilanak merah pun berhenti. Hartono merasa lega meskipun hatinya masih terluka. Ia tahu bahwa Sari kini dapat beristirahat dengan tenang.
Di malam yang tenang, Hartono sering duduk di teras rumahnya, menatap ke arah hutan di mana kejadian tragis itu terjadi. Ia berharap bahwa suatu hari ia dapat bertemu kembali dengan putrinya di dunia yang lebih damai.Â
Semoga kau tenang di sana, Sari, bisiknya pelan, dan angin malam membawa doa tersebut ke langit malam yang penuh bintang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H