Yusuf yang biasanya tidak terlalu aktif dalam kegiatan desa, kali ini ikut terlibat penuh. Ia membantu mempersiapkan acara dengan antusias, berharap dapat membuat Khadijah bangga.
Malam itu, pengajian berjalan dengan khidmat. Khadijah memberikan ceramah yang sangat menyentuh hati. Ia berbicara tentang pentingnya cinta dan kasih sayang dalam Islam, tidak hanya kepada sesama manusia, tetapi juga kepada alam dan semua makhluk. Yusuf mendengarkan dengan seksama, meresapi setiap kata yang keluar dari mulut Khadijah.
Setelah acara selesai, Yusuf melihat Khadijah sedang duduk sendirian di teras madrasah. Ia memberanikan diri untuk mendekat dan duduk di sebelahnya.
"Khadijah, ceramahmu tadi sangat indah," ujar Yusuf pelan.
"Terima kasih, Yusuf. Aku senang kau menyukainya," jawab Khadijah dengan senyum manis.
Yusuf terdiam sejenak, mengumpulkan keberanian untuk mengatakan apa yang sudah lama ingin ia sampaikan.
 "Khadijah, aku ingin jujur. Aku sangat mengagumimu. Bukan hanya sebagai guru, tapi sebagai pribadi. Aku... aku mencintaimu."
Khadijah terkejut, namun ia tetap tenang. Ia menatap Yusuf dengan lembut, mencoba memahami perasaan pemuda itu.Â
"Yusuf, aku menghargai kejujuranmu. Tapi cinta itu tidak bisa hanya berdasarkan kekaguman semata. Kita harus mengenal satu sama lain lebih dalam. Dan lebih dari itu, kita harus mempertimbangkan banyak hal, terutama tentang masa depan kita masing-masing."
Yusuf menundukkan kepala, merasa malu.Â
"Aku tahu, Khadijah. Aku hanya ingin kau tahu apa yang aku rasakan," ujarnya.