Mohon tunggu...
Andri Kurniawan
Andri Kurniawan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Tulislah apa yang kamu pikirkan, cintailah apa yang menjadi milikmu. Kita semua berjalan menuju kesuksesan dengan caranya masing-masing, sebab ada yang harus dinanti, didoakan, serta diusahakan.

Selanjutnya

Tutup

Horor Pilihan

Pendakian Horor Ditemani Sosok Pocong Kesepian

12 Juni 2024   15:55 Diperbarui: 12 Juni 2024   16:08 610
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gunung Seram dikenal angker oleh penduduk lokal. Terletak di pelosok desa yang terpencil, gunung ini memiliki cerita-cerita mistis yang sudah turun-temurun menjadi legenda. 

Bagi Ardi, Rian, dan Sinta, itu hanyalah cerita rakyat yang tidak perlu ditakuti. Mereka bertiga adalah pecinta alam yang sudah mendaki berbagai gunung di Indonesia.

Kali ini, Gunung Seram menjadi tujuan mereka berikutnya.

"Sebenarnya, kalian yakin mau naik ke gunung ini?" tanya Pak Jono, pemilik warung yang berada di kaki gunung. 

"Banyak yang bilang di atas sana sering muncul penampakan."

Ardi tersenyum, menepuk bahu Pak Jono.

"Jangan khawatir, Pak. Kami sudah sering mendaki gunung. Cerita-cerita seperti itu sudah biasa kami dengar."

Pak Jono hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum tipis. "Baiklah, hati-hati saja ya."

Setelah mengisi perut dan mempersiapkan perbekalan, mereka memulai pendakian. 

Langit cerah, sinar matahari menembus celah-celah pepohonan, memberi suasana yang tampak aman dan damai. Seiring langkah kaki mereka semakin dalam memasuki hutan, suasana mulai berubah.

Udara terasa lebih dingin, dan kabut tipis mulai menyelimuti jalan setapak. Suara-suara hutan yang biasanya terdengar, seperti kicauan burung atau desiran angin, perlahan menghilang, yang tersisa hanya keheningan yang terasa mencekam.

"Kalian merasa ada yang aneh?" tanya Sinta sambil merapatkan jaketnya.

Ardi mengangguk. "Iya, rasanya seperti kita sedang diawasi."

"Mungkin cuma perasaan kita saja. Ayo, kita lanjutkan. Masih jauh perjalanan kita," Rian mencoba menenangkan mereka.

Mereka melanjutkan pendakian dengan langkah yang lebih cepat. Semakin tinggi mereka mendaki, kabut semakin tebal dan jarak pandang semakin terbatas. Hutan yang tadinya hijau berubah menjadi kelabu, dan suasana semakin mencekam.

Tiba-tiba dari arah samping terdengar suara ranting patah. Mereka berhenti, saling pandang dengan wajah tegang.

"Apa itu?" bisik Sinta, suaranya bergetar.

Ardi mengangkat tangan, memberi isyarat agar tetap tenang. Dia mendekati sumber suara, dan di sana, di balik semak-semak, dia melihat sesuatu yang membuat jantungnya berdetak kencang. 

Sesosok tubuh berpakaian putih, terikat kain kafan, dengan wajah pucat dan mata terpejam.

"Pocong!" teriak Ardi, mundur dengan tergesa-gesa.

Rian dan Sinta segera mendekat. Mereka melihat sosok pocong itu dengan jelas, berdiri kaku di antara pepohonan.

"Kita harus pergi dari sini," kata Rian dengan suara gemetar.

Mereka berbalik dan berlari turun. Setiap langkah terasa lebih berat, seolah-olah ada yang menahan mereka. 

Suasana semakin mencekam ketika mereka mendengar suara tawa pelan yang bergema di sekitar mereka.

"Kita tidak bisa terus lari," kata Ardi dengan napas tersengal-sengal. "Kita harus mencari tempat berlindung."

Mereka melihat sebuah gubuk tua di kejauhan, di tengah hutan. Tanpa berpikir panjang, mereka berlari menuju gubuk itu dan masuk ke dalamnya. 

Gubuk itu kecil dan gelap, hanya diterangi oleh cahaya remang-remang dari celah dinding yang lapuk.

"Kita aman di sini," kata Sinta dengan lega, meski wajahnya masih pucat.

Perasaan aman itu tidak berlangsung lama. Dari luar, terdengar suara langkah kaki yang mendekat. Langkah kaki yang berat dan terseret, seolah-olah ada yang menarik-narik tubuhnya.

Ardi mengintip melalui celah dinding. Sosok pocong itu semakin mendekat, dengan mata yang kini terbuka dan menatap tajam ke arah mereka.

"Tidak mungkin! Bagaimana dia bisa mengikuti kita?" Ardi berbisik dengan ketakutan.

Sinta mulai menangis ketakutan, dan Rian memeluknya, mencoba menenangkannya. 

"Kita harus tetap tenang. Mungkin dia hanya lewat."

Harapan mereka pupus ketika pocong itu berhenti tepat di depan pintu gubuk. Tangannya yang terikat bergerak perlahan, seolah-olah berusaha membuka pintu.

"Kita harus keluar dari sini sekarang!" teriak Rian.

Mereka bertiga segera berlari keluar dari gubuk, mencoba menghindari sosok pocong yang menghalangi pintu. Mereka berlari sekuat tenaga, melewati semak-semak dan pepohonan, tanpa arah yang jelas.

Kabut semakin tebal, dan pandangan mereka semakin terbatas. Mereka tidak tahu lagi di mana mereka berada, dan pocong itu sepertinya selalu berhasil menemukan mereka.

Akhirnya mereka sampai di sebuah sungai kecil. Di tepi sungai, mereka berhenti untuk mengambil napas. 

Suara gemericik air sedikit memberikan ketenangan, namun rasa takut masih membayangi mereka.

"Apa kita akan terus dikejar seperti ini?" tanya Sinta dengan suara gemetar.

"Kita harus mencari tahu kenapa dia mengejar kita. Mungkin ada sesuatu yang bisa kita lakukan untuk menghentikannya." Ardi mencoba berpikir jernih.

 "Mungkin ada kaitannya dengan sesuatu di gunung ini. Kita harus kembali ke desa dan mencari tahu." Rian mengangguk.

Mereka mulai menyusuri sungai, berharap bisa menemukan jalan kembali ke desa. Setiap langkah terasa semakin berat. Pocong itu selalu muncul di dekat mereka, seolah-olah mengawasi setiap gerakan mereka.

Tidak lama berselang mereka melihat cahaya di kejauhan. Cahaya itu datang dari sebuah rumah kecil di tepi sungai. Mereka bergegas menuju rumah itu dan mengetuk pintunya dengan keras.

"Ada apa? Kenapa kalian tampak ketakutan?" Seorang wanita tua membuka pintu. Wajahnya ramah, meski terlihat kelelahan.

Mereka menceritakan semuanya dengan terburu-buru. Wanita tua itu mendengarkan dengan seksama, kemudian mengangguk pelan.

"Aku tahu tentang pocong itu," katanya. 

"Dia adalah arwah seorang pendaki yang meninggal di gunung ini beberapa tahun yang lalu. Roh nya tidak tenang karena ada sesuatu yang belum terselesaikan."

"Apa yang harus kita lakukan?" tanya Ardi.

"Kalian harus kembali ke tempat dia meninggal dan mendoakannya. Hanya dengan begitu dia bisa tenang."

Meskipun ketakutan, mereka tahu bahwa itu satu-satunya cara. Mereka mengikuti petunjuk wanita tua itu dan kembali ke gunung. Dengan hati-hati, mereka mencari tempat di mana pocong itu pertama kali muncul.

Di tempat itu mereka menemukan sebuah batu besar dengan nama yang terukir di atasnya. Mereka berlutut dan mulai berdoa, berharap bisa memberikan ketenangan bagi arwah yang tersesat.

Suasana tiba-tiba menjadi tenang. Kabut perlahan menghilang, dan udara kembali terasa hangat. 

Sosok pocong itu muncul untuk terakhir kalinya, namun kali ini dengan wajah yang tenang. Dia mengangguk pelan, lalu menghilang ke dalam kegelapan.

Mereka bertiga merasa lega. Meski masih ada perasaan takut yang tersisa, mereka tahu bahwa mereka telah membantu arwah yang tersesat menemukan jalannya.

Perjalanan turun gunung terasa lebih ringan. Mereka kembali ke desa dengan selamat dan menceritakan pengalaman mereka kepada Pak Jono.

"Kalian benar-benar berani," kata Pak Jono. "Gunung Seram memang penuh misteri, tapi kalian telah membantu mengungkap salah satu misterinya."

Ardi, Rian, dan Sinta hanya tersenyum. Mereka tahu bahwa pendakian ini akan menjadi cerita yang tidak akan pernah mereka lupakan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun