"Kalian merasa ada yang aneh?" tanya Sinta sambil merapatkan jaketnya.
Ardi mengangguk. "Iya, rasanya seperti kita sedang diawasi."
"Mungkin cuma perasaan kita saja. Ayo, kita lanjutkan. Masih jauh perjalanan kita," Rian mencoba menenangkan mereka.
Mereka melanjutkan pendakian dengan langkah yang lebih cepat. Semakin tinggi mereka mendaki, kabut semakin tebal dan jarak pandang semakin terbatas. Hutan yang tadinya hijau berubah menjadi kelabu, dan suasana semakin mencekam.
Tiba-tiba dari arah samping terdengar suara ranting patah. Mereka berhenti, saling pandang dengan wajah tegang.
"Apa itu?" bisik Sinta, suaranya bergetar.
Ardi mengangkat tangan, memberi isyarat agar tetap tenang. Dia mendekati sumber suara, dan di sana, di balik semak-semak, dia melihat sesuatu yang membuat jantungnya berdetak kencang.Â
Sesosok tubuh berpakaian putih, terikat kain kafan, dengan wajah pucat dan mata terpejam.
"Pocong!" teriak Ardi, mundur dengan tergesa-gesa.
Rian dan Sinta segera mendekat. Mereka melihat sosok pocong itu dengan jelas, berdiri kaku di antara pepohonan.
"Kita harus pergi dari sini," kata Rian dengan suara gemetar.