Saat ini atmosfer politik di Indonesia sedang mengalami peningkatan mendekati digelarnya Pemilihan Presiden 2024. Berbagai isu pun berdesir dari berbagai bidang. Pemerintahan Joko Widodo ikut terseret oleh arus politik yang semakin kuat. Hal ini akhirnya memantik media asing untuk berkomentar. Sebut saja masalah hilirisasi.
Tindakan kebijakan yang diambil oleh Pemerintah Indonesia terus menjadi sorotan oleh media asing, dengan salah satu fokusnya adalah proses hilirisasi mineral. Wall Street Journal (WSJ) melaporkan bahwa Indonesia telah menerapkan larangan besar terhadap ekspor nikel mentah, memaksa perusahaan yang ingin menggunakan mineral tersebut untuk membangun smelter di Indonesia, terutama bagi perusahaan yang memproduksi baterai kendaraan listrik.Â
Diyakini akan mendorong pembangunan pabrik baterai kendaraan listrik dan mobil listrik secara lokal, menciptakan rantai pasokan yang terintegrasi dengan sumber mineral. Namun, upaya peningkatan nilai tambah ini juga menimbulkan dilema lingkungan karena meningkatnya penggunaan batu bara sebagai bahan bakar pembangkit untuk mendukung kegiatan industri tersebut.Â
WSJ mengutip laporan dari Climate Rights International yang menyatakan bahwa kawasan industri nikel di kepulauan Maluku akan membakar lebih banyak batu bara daripada negara-negara seperti Spanyol atau Brasil jika operasional penuh. Isu ini juga dibahas oleh calon wakil presiden Muhaimin Iskandar dalam debat baru-baru ini, menyoroti konsekuensi lingkungan dan sosial dari kebijakan tersebut, meskipun manfaat bagi negara dianggap minim.Â
Beberapa kandidat presiden lainnya berjanji untuk melanjutkan kebijakan nikel yang diusung presiden, termasuk Prabowo Subianto, yang lebih memilih mengekspor baterai kendaraan listrik daripada nikel mentah.
Menurut laporan dari WSJ, reputasi "nikel kotor" menghadapi ancaman terhadap peluang ekonomi yang sangat diinginkan oleh Indonesia. Pada bulan Oktober, sembilan senator AS menandatangani surat yang menolak usulan perjanjian perdagangan bebas untuk mendapatkan akses ke sumber mineral penting dari Indonesia, dengan alasan kekhawatiran akan isu lingkungan dan keamanan.
Tanpa perjanjian perdagangan bebas ini, baterai kendaraan listrik yang mengandung nikel yang diolah secara besar-besaran di Indonesia tidak akan memenuhi syarat untuk mendapatkan kredit pajak besar di AS.Â
Lonjakan konsumsi batu bara yang diakibatkan oleh hal ini membuat nikel Indonesia kurang menarik bagi produsen kendaraan listrik di negara-negara Barat, yang sudah menghadapi tekanan dari kelompok lingkungan hidup terkait dampak lingkungan dari eksploitasi nikel yang luas.Â
Sebagai bukti kekhawatiran yang meningkat, wakil direktur baterai dan material kunci di Departemen Energi AS, Ashley Zumwalt-Forbes, menyuarakan keprihatinannya dalam unggahan di LinkedIn bulan lalu tentang apa yang ia sebut sebagai dominasi pasar nikel Indonesia yang dianggap kotor.Â
Indonesia kini menyumbang setengah dari pasokan nikel global, naik dari seperempat pada tahun 2018. Isu nikel ini juga mendorong produsen kendaraan listrik untuk mencari alternatif seperti pengolahan ulang aki mobil dan beralih ke produk yang bebas dari nikel.