Saat ini negara Perancis yang dipimpin Macron sedang mengalami kekacauan "chaos" usai insiden penembakan yang menewaskan seorang remaja 17 tahun imigran dari Aljazair.
Pembunuhan remaja bernama Nahel tersebut dinilai kental akan rasisme yang dilakukan oleh pihak kepolisian karena Nahel berasal dari Aljazair yang kental akan agama Islam dan seorang imigran.Â
Alhasil, terjadi kerusuhan karena masyarakat Perancis menilai kepolisian dan pemerintah masih saja melakukan tindak rasisme pada warganya.Â
Seperti yang diketahui bahwa isu rasisme sudah mendarah daging di benua Eropa sejak dahulu. Lantas apakah kalian tahu siapa tokoh utama dibalik sejarah awal rasisme di Benua biru tersebut?
1. Sejarah awal rasisme Eropa
Rasisme adalah keyakinan atau pandangan bahwa ada perbedaan inheren dalam kemampuan, karakter, atau nilai antara kelompok ras tertentu, yang menghasilkan perlakuan yang tidak adil atau diskriminasi terhadap kelompok tersebut. Di Benua Eropa, rasisme telah ada selama berabad-abad dan terkait dengan sejarah kolonialisme, imperialisme, dan konflik antar etnis.
Salah satu bentuk rasisme terawal di Eropa dapat ditemukan pada Abad Pertengahan, ketika orang-orang Yahudi sering kali menjadi sasaran kebencian dan penganiayaan. Stereotip negatif tentang orang Yahudi berkembang, dan mereka dianggap sebagai penyebab berbagai masalah sosial dan ekonomi. Penganiayaan terhadap orang Yahudi mencapai puncaknya selama masa Inquisisi Spanyol pada abad ke-15 dan selama periode Pogrom di Rusia pada abad ke-19.
Selama periode penjelajahan dan penaklukan Eropa pada Abad Penjelajahan, rasisme juga muncul dalam bentuk kolonialisme dan perdagangan budak. Bangsa Eropa, terutama bangsa Spanyol, Portugis, Inggris, dan Belanda, menjajah wilayah di Afrika, Amerika, dan Asia.
Mereka menganggap diri mereka lebih unggul secara rasial dan menggunakan keyakinan ini untuk membenarkan penindasan, perbudakan, dan eksploitasi terhadap masyarakat pribumi di koloni mereka. Perbudakan Afrika adalah contoh nyata dari rasisme institusional yang terorganisir dengan tujuan ekonomi.
Selama abad ke-19 dan awal abad ke-20, teori rasial dan eugenika mulai populer di Eropa. Para ilmuwan dan intelektual Eropa menciptakan klasifikasi rasial dan menyebarkan ide-ide yang mengklaim superioritas rasial orang Kaukasia atau "Arya" dibandingkan dengan ras lain. Teori-teori ini mempengaruhi kebijakan imigrasi, politik sterilisasi paksa, dan kebijakan diskriminatif lainnya.
Pada abad ke-20, rasisme di Eropa mencapai puncaknya dengan kebangkitan Nazi di Jerman. Pemimpin Jerman Nazi, Adolf Hitler, mempraktikkan dan memperjuangkan ideologi supremasi ras Arya atau "ras superior". Nazi mengenalkan kebijakan rasial yang mengarah pada Holocaust, pembantaian sistematis enam juta orang Yahudi dan jutaan orang lainnya yang dianggap tidak sesuai dengan standar rasial Nazi.
2. Nazi
Sejarah Nazi merujuk pada periode di Jerman antara tahun 1933 hingga 1945 ketika Partai Nazi, yang dipimpin oleh Adolf Hitler, berkuasa. Periode ini dikenal dengan sebutan "era Nazi" atau "era Hitler" dan ditandai oleh kebijakan otoriter, rasialisme ekstrem, dan perang agresif yang menyebabkan menderita dan kehancuran massal.
Partai Nazi, secara resmi dikenal sebagai Partai Pekerja Jerman Nasional Sosialis (Nationalsozialistische Deutsche Arbeiterpartei), didirikan pada tahun 1920 dan dipimpin oleh Adolf Hitler.Â
Partai ini mengusung ideologi rasial yang menekankan supremasi ras Arya atau "ras superior" Jerman. Hitler percaya bahwa bangsa Jerman harus menguasai ruang hidup atau Lebensraum yang lebih luas dan membebaskan diri dari pengaruh orang Yahudi, komunis, dan kelompok-kelompok rasial lainnya yang dianggapnya sebagai ancaman.
Pada tahun 1933, setelah memanfaatkan ketidakstabilan politik dan krisis ekonomi di Jerman, Hitler diangkat menjadi Kanselir Jerman oleh Presiden Paul von Hindenburg. Setelah itu, Hitler dengan cepat mengkonsolidasikan kekuasaannya dan mengeliminasi oposisi politik. Ia menyingkirkan lawan-lawannya, menghancurkan partai-partai politik lainnya, dan mengendalikan media serta institusi-institusi negara.
Setelah berkuasa, rezim Nazi mulai menerapkan kebijakan-kebijakan yang brutal dan represif. Orang Yahudi menjadi salah satu target utama kebijakan mereka. Pada tahun 1935, undang-undang rasial Nuremberg diperkenalkan, yang menghilangkan hak-hak kewarganegaraan bagi orang Yahudi dan membatasi pernikahan dan hubungan antar-ras. Kebijakan ini kemudian berkembang menjadi program-program penindasan yang lebih luas, termasuk pembatasan ekonomi, segregasi, dan pengusiran orang Yahudi dari kehidupan publik.
Pada tahun 1938, dalam peristiwa yang dikenal sebagai "Kristallnacht" atau "Malam Kaca Pecah," serangkaian serangan terhadap bisnis dan sinagoge Yahudi di Jerman dan Austria dilakukan oleh para anggota Nazi dan pendukung mereka. Ini merupakan langkah awal menuju kekejaman yang lebih besar.
Pada tahun 1939, Nazi memulai perang dengan invasi ke Polandia, yang menjadi pemicu dari Perang Dunia II. Selama perang, Nazi mengembangkan dan menerapkan kebijakan pembantaian massal yang disebut Holocaust.
Sebagai bagian dari Holocaust, sekitar enam juta orang Yahudi Eropa, serta jutaan orang lainnya seperti Sinti-Roma, kaum homoseksual, orang cacat, dan lawan politik Nazi, dibunuh dalam kamp-kamp kematian dan melalui eksekusi massal.
Selama perang, Jerman Nazi juga menduduki sebagian besar Eropa, termasuk negara-negara seperti Prancis, Norwegia, Belgia, dan Polandia. Mereka menjalankan rezim yang keras dan mengeksploitasi sumber daya negara-negara yang diduduki, serta memperbudak atau membunuh jutaan orang sipil.
Pada tahun 1945, setelah serangkaian kekalahan militer yang signifikan dan invasi Sekutu, rezim Nazi runtuh. Adolf Hitler bunuh diri di dalam bunker Berlin pada bulan April 1945, dan Jerman menyerah secara tak terbatas pada bulan Mei 1945, menandai berakhirnya rezim Nazi dan Perang Dunia II di Eropa.
Sejarah Nazi telah meninggalkan warisan yang mengerikan dalam hal kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan genosida. Pengadilan Nuremberg, yang berlangsung antara tahun 1945 dan 1946, membawa beberapa pemimpin Nazi ke pengadilan dan menyatakan bahwa tindakan mereka adalah kejahatan terhadap kemanusiaan.
Sejarah Nazi menjadi peringatan tentang bahaya ideologi rasialis ekstrem, intoleransi, dan kekuasaan otoriter. Peristiwa ini telah membantu membentuk kebijaksanaan internasional dan perundang-undangan yang bertujuan untuk melindungi hak asasi manusia dan mencegah kejahatan serupa di masa depan.
Setelah Perang Dunia II, Eropa melihat perkembangan gerakan hak asasi manusia yang bertujuan untuk mengatasi rasisme dan diskriminasi. Eropa juga mengalami gelombang imigrasi setelah perang, dengan kedatangan banyak imigran dari bekas koloni dan negara-negara lain.
Meskipun ada upaya untuk memerangi rasisme dan menciptakan masyarakat yang lebih inklusif, rasisme dan intoleransi masih ada di Benua Eropa modern, terutama dalam bentuk diskriminasi terhadap imigran, Islamophobia, dan naiknya gerakan nasionalis dan ekstremis sayap kanan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H