Masih langkanya orang yang mampu berpikir luas dengan pandangan politis membuat rakyat pribumi kala itu sangat mudah diperdaya.
Sejarah Politik Etis di Indonesia
Baik Belanda maupun Jepang sama-sama membawa kesengsaraan bagi rakyat pribumi. Kedua negara sama-sama berniat menjajah dan mengeruk kekayaan Nusantara demi kepentingan pribadi masing-masing. Meski begitu, di balik pedihnya penjajahan, ada hikmah yang dapat diambil didalamnya, seperti lahirnya pemikiran dan ilmu baru.
Bicara soal pemikiran, pada masa Kolonial Belanda, tidak semua orang-orang Belanda membenci rakyat pribumi, masih ada segelintir orang yang peduli terhadap kehidupan rakyat pribumi, sebut saja Ratu Belanda, Wilhelmina.
Ratu Belanda tersebut bernama lengkap Wilhelmina Helena Pauline Marie van Orange-Nassau lahir pada 31 Agustus 1880 di Den Haag, Belanda. Wilhelmina naik takhta pada tahun 1890 saat usianya baru 10 tahun. Tahta tersebut ia dapat seusai ayahnya, Raja Willem 3 meninggal pada 23 November 1890
Ratu Wilhelmina lah orang yang ingin menerapkan "Politik Etis" atau politik balas budi kepada rakyat pribumi. Disisi lain, hal tersebut juga didorong oleh desakan dari para politikus di Belanda, khususnya kaum liberal dan borjuis.
Politik etis ini diadakan dengan tujuan sebagai bentuk balas budi Belanda pada rakyat pribumi yang telah memberikan kekayaan sumber daya alam untuk Belanda, dan sudah menderita karena nya.
Sejak saat itu, pendidikan dan keterampilan rakyat pribumi mulai terasah. Mereka dapat belajar di sekolah, diajarkan ilmu-ilmu sosial dan semacamnya. Akibatnya munculah kalangan terdidik dan pemikiran-pemikiran baru.
Inilah yang menjadi akar munculnya berbagai gerakan persatuan diberbagai daerah, yang mulanya bersifat kedaerahan atau terpecah, perlahan mulai bersatu. Selain itu, rakyat pribumi juga mengadakan transmigrasi guna pemerataan penduduk demi memperluas penduduk terpelajar.
Nyatanya politik etis ini bisa dikatakan senjata makan tuan, para pemimpin pahlawan dan tokoh-tokoh kritis yang melawan penjajahan di Indonesia merupakan orang-orang terpelajar yang dulunya di didik oleh tenaga pengajar dari negara penjajah.
Maka lahirlah tokoh-tokoh Pergerakan Nasional seperti Ki Hajar Dewantara, Raden Ajeng Kartini, KH Ahmad Dahlan, Wahid Hasyim, Dr Soetomo dan lain-lain.
Pada akhirnya, penduduk pribumi mulai menjadi golongan terpelajar semua. Pemerintahan tersembunyi, tentara perlawanan, persenjataan, calon-calon pemimpin mulai dikumpulkan dalam upaya merebut kemerdekaan dari para penjajah.