Mohon tunggu...
Andri Faisal
Andri Faisal Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Seorang dosen manajemen keuangan dan Statistik. Peminat Sastra dan suka menulis fiksi. Suka Menulis tentang keuangan dan unggas (ayam dan burung) http://uangdoku.blogspot.com http://backyardpen.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Novel | Ismail the Forgotten Arab [Bagian 24]

23 September 2017   07:03 Diperbarui: 23 September 2017   07:17 342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi pribadi

Tiga orang pasukan 10 Rajab 1333 H

Hari itu aku menyaksikan  kemarahan dari Mulazim Ilham karena permasalahan mengenai jumlah pasukan yang semakin menepis. Untung saja pasukan musuh tidak mengetahui kehilangan pasukan kami sehingga kami masih bisa menghalau pasukan mereka. Usaha mereka gagal juga untuk merebut pertahanan kami.

Padahal sudah sebulan lamanya kami bertahan dengan sedikit pasukan. Kalaupun ada tambahan pasukan itu waktu kunjungan Essad Pasha. Setelah itu pasukan tersebut kembali lagi ke barak mereka. Aku melihat Mulazim yang sedang memegang gagang telepon dan berkata-kata dengan tegas sekali

"Kami di sini sudah kehilangan banyak tentara "

Sebentar ia terdiam mungkin karena mendengar balasan dari orang yang ada di balik telepon namun wajah Mulazim tidak terlihat mereda malah ia tambah berang. Mungkin saja alasan yang selalu diberikan oleh pihak mereka sama saja

"Kalau kalian membiarkan kami maka kami akan mundur aku tidak peduli kalau mesti disebut desersi tapi kalau telah melakukan kejahatan dengan mendiamkan kamu berjuang sendirian. Nantinya kalian sendirilah yang akan merasakan hukuman tersebut.

Dari balik telepon aku dengar sama-samar. Namun aku tidak mau mendengarkannya. Biarlah nantinya Mulazim yang memberitahu dan bagiku tidak berguna untuk menguping pembicaraan orang lain.

Kemudian Mulazim merekada dan ia mengiyakan perkataan dari orang balik telepon dan dengan perlahan ia meletakkan ganagntelepon ke tempat teleponnya. Ia berbalik dan mempersilahkan aku duduk dalam baraknya.

Barak yang sangat kecil dan hanya bisa dimuat paling banyak lima orang. Dari sini Mulazim bertugas memantau pasukannya dan melaporkan perkembangan perang.

"Ternyata mereka masih bandel juga. Aku harapa kita akan mendapatkan pasukan. Mereka berjanji akan mendatangkan tiga orang hari ini juga"

"Jika demikian itu bagus. Tiga orang sangat bisa membantu kita dalam menjaga sektor ini" , kataku

"Kemajuan musuh semakin mencemaskan. Katanya sektor 17 juga mendapatkan serangan massif dan banyak yang mati".

Jleb, hati ini kaget karena ia tahu bahwa 17 adalah tempat pamannya memimpin pleton pasukan. Ia mengkhawatirkan apakah pamannya hidup atau sudah mati,

"Tuan, aku meminta maaf sebelumnya jika aku meminta sesuatu", aku memohon dulu untuk mendapatkan Muchtar.

"Hmm.. pasti kau sedang mencari pamanmu Muchtar "

Aku menjadi malu karena sebelumnya ia mempersilahkan aku untuk ke sektor 17 namun aku menolaknya sekarang aku malah mau mencari kabar di sana tetapi Mulazim Ilham tidak menunjukkan perubahan .

"Baiklah aku akan menelpon salah satu kolegaku yang bernama Mulazim Mursyi dari sektor 17 mungkin ia akan membantuku.

Ia langsung memutar telepon pada sektor 17. Ia menunggu balasan dari sana namun tidak ada yang terdengar jawaban.

"Hallo "

Aku menjadi semangat karena mendenar ada jawaban di balik telepon tersebut .

"Siapa di sana?"

"Aku Mulazim Hasan dari sektor 17"

"Apakah kau Mulazim pengganti Mulazim Mursyid"

"Benar, aku penggantinya. Oh ya anda siapa?"

"Aku Mulazim Ilham dari sektor 26 ingin menanyakan seorang Sersan yang ada di sektor 17"

"Maaf, tuan. tapi hamper seluruh sektor 17 mati dan hanya sedikit yang terluka di garis belakang.  Saya tidak tahu kabar mereka lagi"

"Bisakah kau berikan informasi dimana saya harus mencarinya"

"Saya kurang faham tetapi semua daftar yang meninggal ada di rumah sakit. Kau bisa ke garis belakang menanyakan hal itu. Mudah-mudahan kau akan mendapatkan jawaban dari sana. Maaf, kami sedang menghadapi serangan musuh"

"Baiklah, terima kasih"

Mulazim mendengar dengan jelas rentetan senapan yang terkadang terdengar bombardir musuh. Mulazim Ilham menutup teleponnya.  

Ramadhan Pertama 1Ramadhan 1333 H

Inilah Ramadhan Ku pertama kalinya seluruh pasukan yang berjaga hanyalah memanggil kami untuk melakukan sahur Yasin membawa beberapa makanan yang berada di dalam panci kami semua menggabung ditempat tersebut kami dibagi dua salah satunya lagu sengaja untuk menjaga garis depan agar tidak musuh terlihat sedangkan kami semua berkumpul kami membagikan piring lalu dituangkan sebuah makanan ke dalam wadah piring.  

Makanan tersebut makanan khas Turki untuk sahur aku rasa rasanya enak sekali aku mencocolkan roti dan dengan daging kari kambing yang lezat sekali ini mengingatkan masakan di Arabia. Disini rupanya menyesuaikan masakannya dengan masakan orang-orang Arab ya karena kebanyakan disini dan orang Arab aku melihatmu lazim tetap suka memakannya Walaupun dia bukan berasal dari Arab ia juga makan dan kami bersyukur mendapatkan makanan dan alhamdulillah tidak ada bunyi arti dari rupanya mereka juga menghormati kamu yang sedang melaksanakan puasa.

Alhamdulillah ini jelas pertolongan Allah pada kami. Kami menikmati makan lezat di tengah gelapnya front kami. Ini keberkahan yang aku rasakan sahur di malam pertama Ramadhan.

Aku melihat dan waspada kalau ada orang yang akan menyerang kami.

Alhamdullilah, aku mengucapkan syukur pada Allah di pagi ini saya merasakan berkah dalam peperangan ini. Tampaknya kini sudah menjadi giliranku untuk berjaga. Ada tujuh orang lagi tidak sahur untuk sementara berjaga di depan saja karena khawatir akan serangan musuh yang mendadak.

Kamipun berganti tugasku menduduki posku dan orang yang berjaga bergerak untuk mendapatkan roti untuk keberkahan sahur.

Tiga orang Tentara 15 Ramadhan 1333 H

Sudah menjadi janji dari markas bahwa mereka akan memberikan tentara bagi peleteon kami Hari ini selang dua minggu dari permintaan Mulazim Ilham melalui telepon,  datanglah ketiga orang tersebut yang berasal dari Al Quds. Al Quds ditinggalkan oleh beberapa orang prajuirt untuk memperkuat pertahanan Galipoli.

 Mereka masih termasuk orang-orang Arab Syam. Semuanya masih muda sekitar umur 20 tahun. Ada yang bernama Bakir seorang prajurit infantri dengan dua orang temannya yang bernama Syamsuddin dan Maulana.

Mereka menghadap Mulazim Ilham dan merekapun mengenalku dan aku ditempatkan di pos-pos yang ditinggalkan oleh orang yang syahid. Mereka tampaknya orang-orang yang terbiasa dengan pertempuran dan ternyata mereka adalah bekas relawan perang di Macedonia. Aku tentunya sangat senang bahwa penggantinya kini mempunyai keterampilan dan para prajurit pleton bisa menerima keberadaan ketiga dari mereka.

Aku memperkenalkan ketiga prajurit itu pada personil kami yang tersisa termasuk Abdul Khoir dan Jengis. Abul Khoir tanpanya senang datang pasukan Arab yang sebangsa dengannya . Lain dengan Jengis yang nampaknya tidak suka. Aha, itu aku kira persangkaan burukku saja. Aku pikir aku akan melepaskan prasangka yang buruk saja.

Mereka dekat dengan Senjata Mesin yang dipegang oleh kedua pasukan Mesut dan Hanzhalah. Mulazim memang harus puas dengan tiga orang yang ada padahal yang ia minta adalah 15 orang.

"Seandainya aku mendapatkan bantuan artileri ringan itu lebih baik lagi. Kita bisa menghancurkan mereka dengan mudah. Aku kira kita harus mengajari mereka memakai mortir terlebih dahulu karena mereka tidak biasa untuk menggunakan mortir"

"Itu bukan perkara yang sulit karena aku bisa mengajarkan mereka. Apakah kau pernah memegang mortir?"

"Hmm.. aku juga belum memakai mortir sama sekali, aku harus mendapatkan pengajaran yang terlebih dahulu"

"Mortir tidak sulit sekali. Hanya memasukan pelurunya ke dalam laras mortir tersebut akan meluncur dengan gerakan parabola dan kemudian meluncur ke bawah menghantam lubang lawan. Yang harus kau perhatikan adalah kau harus mengenai sasaran dan bisa kau gunakan kompas untuk menentukan arah"

Aku tertarik dengan hal tersebut. Aku tidak menyangka dapat menggunakan senjata canggih padahal saat di negeri hanya mengenal senjata biasa saja yang menggunakan serbuk mesiu dan biji timah.

Kalau aku mempunyai mortir dan saya akan menyerang pasukan Australia namun saya tidak boleh berkhayal. Dengan tembakan dari sniper maka mereka juga pasi akan gentar. Aku ingin mendapatkan pelatihan dari pasukan sniper.

"Tetapi sniper juga cukup efektif Letnan. Aku akan bisa menyerang mereka. Ada seorang komandan yang aku kira sangat kharismatik. Aku bisa saja menembaknya suatu saat agar ia tidak menyerang kita"

"Tidak...tidak...tidak. Aku tidak mengizinkan hal seperti itu karena hal itu berbahaya kau hanya memasukkan dirimu dalam bahaya yang sangat hebat"

"Aku lihat panglima tersebut cukup kharismatik dan membuat pasukan Australia  ganas dan maju ke sana. Aku ingin mengakhiri perlawannya"

"Kau kira...." Ia sempat terhenti untuk satu menit lamanya. Aku seolah melihat jarum jam kecil memutar dengan cepat dan aku ternganga "Pasukan Australia tidak mempunyai banyak komandan"

"Ya, setidaknya tuan kita bisa menyerang mereka disini dan kita bisa menududuki tempat ini"

"Hmm..kita harus membutuhkan banyak orang untuk menduduki sektor ini. Aku khawatir kalau kita tidak mempunyai kekuatan yang banyak malah kita yang dihabisi seperti sektor 17. "

Aku jadi mengingat lagi Paman Muchtar yang berada di sektor 17 mungkinkah ia selamat dan masih misteri bagiku.

1 Syawal 1333 H

Inilah hari kemenangan yang dijanjikan oleh Allah. Setelah sebulan berpuasa penuh.Seluruh pasukan Turki di sektor ini berpuasa total meski kami beperang. Kami memakan makanan yang paling lezat seolah setelah puasa. Komandan batayon kami adalah orang yang sholeh sehingga ia menyediakan kurma, madu, simit dan daging kambing. Hari ini kami berpesta kecil-kecilan.

Aku teringat bahwa aku sudah berjanji akan menikah dengan anak pamanku. Janji ini sepertinya sulit sekali terwujud mengingat situasi saat ini. Tidak ada yang bisa menebak lamanya perang. Walau sudah banyak orang yang lalu lalang dalam perterampuran namun kami terus melawan mereka. Tekanan mereka semakin berat sekali. Seperti beberapa hari yang lalau mereka datang saja tidak ada habisnya. Kapal-kapal besar mereka menurunkan banyak prajurit yang masih belia dan tidak mengenal perang ini . Tembakan mereka yang terus mengararah ke kami menimbulkan korban pada kami

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun