Mohon tunggu...
Andri Faisal
Andri Faisal Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Seorang dosen manajemen keuangan dan Statistik. Peminat Sastra dan suka menulis fiksi. Suka Menulis tentang keuangan dan unggas (ayam dan burung) http://uangdoku.blogspot.com http://backyardpen.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

[Novel] Ismail the Forgotten Arab bagian ke-duabelas

11 Juni 2017   06:46 Diperbarui: 17 Juni 2017   06:12 525
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kami memang orang Arab biasa untuk berperang menggunakan kuda namun kini kita harus bertempur sebagai infantri. Ini sebuah pengalaman yang baru tetapi kami pikir kami harus mencoba untuk bertarung.  Sebenarnya bukan opsi mencoba melainkan opsi keterpaksaan karena musuh akan menggempur dengan infantri. Jalan yang sulit di jalani oleh kuda dengan tanah yang berbatu serta berlubang.

Kembali opsir Jerman ia mempunyai wajah putih kemerahan dan berusia sudah menginjak 55 tahun dan aku pikir sebentar lagi ia akan pensiun. Tetapi jangan kira semangatnya loyo. Aku kadang menjadi malu karena stamina dan fisiknya lebih baik. Ia juga bisa bergulat dan ia menunjukkan  kebolehan di dalam berlatih. Entah skenario atau bukan, ia berhasil mengalahkan Sersan pelatih yang badannya besar. Ia berhasil menyatukan pasukan di arena gulat.

Aku tidak tahu apakah Officer Jerman tersebut akan masuk dalam batalion kami tetapi pleton yang mana? Aku akan berbicara dengan Jerman tersebut mau mengetahui dimana Jerman tersebut. Setahu saya Jerman jauh di Utara dan dengan kereta Trans bisa sampai ke negeri yang beribukota Berlin tersebut.

Aku mendapat info dari Sersan pelatih bahwa mereka mengeluhkan disiplin orang Arab. Katanya semestinya kami dihukum karena malas tetapi kami sebenarnya adalah orang yang rajin. Kami hanya tidak biasa berperang secara metode mereka namun secara gerilya.

Apalagi berbaris aku belum bisa dan kadang aku menendang  depan untung saja mereka sesama Arab sehingga mereka mengerti saya juga tidak bisa berbaris.

Ia pernah mencambuk saya dengan tongkat pelan tetapi saya merasa tidak sakit hati. Aku tahu bahwa aku salah dalam melangkah. Kadang hati ini melawan karena aku pikir adalah berbaris tidaklah perlu sedangkan kita mau perang. Tetapi barisan seperti orang yang sholat.

Salah satu yang membuat saya menjadi lucu adalah kumisnya yang tebal. Kalau berbicara kumisnya bergerak juga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun