Mohon tunggu...
Andri Faisal
Andri Faisal Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Seorang dosen manajemen keuangan dan Statistik. Peminat Sastra dan suka menulis fiksi. Suka Menulis tentang keuangan dan unggas (ayam dan burung) http://uangdoku.blogspot.com http://backyardpen.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[Novel] Ismail the Forgotten Arab Bagian Kesepuluh

27 Mei 2017   14:41 Diperbarui: 3 Juni 2017   08:07 372
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Meninggalnya Seorang Cavus

Aku tahu bahwa perang takkan memadang siapa Anda. Kalau Anda lengah, Anda akan mendapatkan peluru atau mortir. Tadi pagi mortir pasukan sekutu meluncur ke dalam lubang pertahanan kami. Banyak mortir yang jatuh pada atas parit namun sedikit mortir yang bisa jatuh ke dalam parit kami.

Akibatnya seorang Sersan syahid. Ia bernama Sersan Ahmad Yildirim yang berasal dari Damaskus kesatuanku memang banyak sekali orang Damaskus. Tidak ada mimpi yang menandakan Orang ini akan mati. Seperti biasa-biasa saja karena aku bukan orang yang dekat dengan orang tersebut. Mulazim tambah stress karena pasukan bantuan tidak ada.

Kenangan dengan Sersan Yildirim banyak sekali walau aku tidak menempatkan dalam buku harian ini. Ia mengajari kami bertahan di parit ini sambil mengusir kesuntukan. Siapa yang tidak suntuk berjaga di tempat ini. Terkadang ada ancaman Mortir atau howitzer yang jatuh ke arah kami. Terkadang sangat sunyi sekali karena musuh juga beristirahat atau menunggu hingga kami lengah hingga mereka bisa menyerang kami. 

Ia termasuk orang yang shaleh dan taat beragama. Jangankan sholat wajib, sholat sunnah tidak pernah ditinggalkan terutama sholat dhuhanya. Ia menyempatkan diri sebelum berjaga untuk melaksanakan sholat dhuha 4 rakaat dan kadang ia mendirikan sholat dhuha hingga 12 rakaat. Ia mengajariku secara alami bagaimana ia memimpin pasukan satu regu yang terdiri dari 10 orang yang termasuk diriku, Hanzhalah, Taqiuddin, Ibnu Makmun, Yasir, Abdul Khoir, Al Fadhil, Sinan, Muhamamad Karamanli, dan Ghulan Sanjak. Kelima orang yang terakhir sudah syahid dan ia kini terakhir memipin kamu sebelum beliau syahid juga.

Aku masih ingat ketika ia berjalan di belakang kami yang siap menyongsog pasukan musuh yang berlari ke arah kami. Ia berjalan dan memotivasi kami dan mengingatkan untuk tidak merubah pisir besi yang dapat menguragi keakuratan dari senapan tersebut. Suaranya menggelegar waktu ia menyebutkan jarak musuh dengan jarak pasukan kami. Ia sudah berpengalaman dan nampaknya mampu mengukur dengan akurat tanpa membawa meteran sedangkan saya tidak bisa untuk mengukur jarak dan hanya memahami patokan yang ada seperti gundukan dan jarak antara rumput yang tumbuh atau benda-benda lain yang ada di depan sebagai patokan dan kadang aku menggambar sebagai patokan tersebut.

Oh ya.. Sersan Yildirim juga kawan Paman Muchtar ketika berlatih dengan kesatuan Infantri Jerman. Ia berjanji akan mendukung jika aku melamar anaknya. Ia akan membawa keluarganya ke Jeddah jika itu terjadi. Kalau urusan Muchtar adalah urusannya. Ia akan merekomendasikannya dengan dirinya yang pantas sekali. Ia tentu saja berkata Insya Allah jika Allah mengizinkan. 

Pasukan kami ibaratnya rapuh namun Mulazim mengingatkan seberapa berat kesulitan kami semua akan terselesaikan. Ia yakin perang ini akan berakhir walaupun ia sendiri tidak tahu kapan berakhirnya. Ia hanya perwira pertama yang hanya mengetahui di lapangan saja. Kalau yang sudah mendapatkan pangkat Mirliva maka mereka bisa tahu sedikit masalah politik.

"Aku tunjuk kau mendampingiku?"

Aku tentu saja tersentak. Bisa apa aku? Aku bukanlah lulusan sekolah militer namun hanya pelatihan saja, "Tuan, kau pasti salah memilihku aku ingin kau memberikan tugas ini pada orang senior. Aku juga bukan orang  Damaskus sedangkan di sini banyak sekali orang Damaskus. Aku kira mereka akan sesama orang Damaskus akan membantu"

  "Tidak usah kau hiraukan mereka. Aku ingin mereka agar terbiasa diperintah oleh orang lain karena kebanyakan mereka akan mendapatkan perintah dari orang Turki"

 Aku mengerti sekarang kalau Mulazim memang ini untuk mengujiku dan aku menerima saja tugasnya. Aku pikir ini hanya sementara saja dan nantinya aku akan gabung dengan pasukan.

 "Mulai sekarang kau akan berpangkat kopral dan kau bisa saja akan menjadi Sersan. Aku akan mengirimkan surat pengangkatan pada komandan Brigade 17 yang akan melanjutkan pada markas besar. "

 Sebenarnya aku tidak membutuhkan hal itu. Kini setelah sebulan berperang aku mendapat mandat menjadi kopral.

 Kini ia mengajakku ke bagian atas sambil bergerak perlahan khawatir dengan serangan musuh yang sekali-kali ada. Ia memandangi Galipoli yang luas sekali dan menunjukan sebuah kapal angkut pasukan musuh yang terus menerus menerjunkan pasukannya Ke daratan Galipoli.

 "Kopral apakah kau mempunyai cara untuk membendung pasukan musuh"

 Tentu saja aku  bingung karena aku belum pernah perang sebelumnya tetapi aku harus berpikir untuk mencari jawaban pertanyaannya. Aku tidak mau Mulazim menyesal sudah memilihnya sebagai kopral.

 "Aku kira kita butuh tambahan orang”, jawabku karena aku menyadari bahwa pasukan kewalahan dengan sergapan musuh yang bergelombang seperti air yang tidak habis. Barat sepertinya tidak mempunyai keterbatasan dalam mengumpulkan pasukan. Buktinya pasukan Belanda berhasil mengumpulkan pasukan dari pulau lain untuk menyerang Aceh. Orang Belandanya hanya sedikit sekali. Satu Orang Belanda dan dibelakangnya pasukan yang berasal dari belahan nusantara lainnya.

 Aku mungkin merasa hebat dengan pangkat kopral walau aku belum mendapatkan tanda tersebut di lengan bajuku.

 Aku mengusulkan artileri Turki untuk memborbardir musuh terlebih ketika mereka turun dari kapal mereka. Mereka pasti tidak menyadari hal tersebut ketika mereka sedang ke bawah.

 Bom menukik kembali. Aku harus akhiri tulisanku terlebih dahulu untuk menghadapi musuh.

Meriam tidak henti

Sudah 2 x 24 jam bom terus memborbardir kami. Bunyi melengking menuju ke atas dan kemudian menukik bagai rajawali yang memburu mangsanya. Kami sebagai mangsa harus waspada dan harus bisa melepaskan diri dari rajawali tersebut.

Mulazim cukup khawatir karena banyak prajurit yang akan mati. Aku melihat dengan jelas dari jarak dekat kembar Hamid dan Halil terhempas oleh serangan bom. Pada waktu itu saya melihat dari samping kedua kembar itu terhempas, Ia masih seusia denganku dan Jengis begitu sedih melihat kedua temannya tersebut tewas. Aku berusaha membantunya mengangkatnya. Meski ia tidak begitu suka Arab namun ia tidak bisa menolak bantuanku yang tulus.

Kami seperti menunggu giliran mendapat bom sebab hantaman mereka sangat keras. Mulazim tidak hilang akal. Ia tidak mau prajuritnya berdiam diri saja seperti kelinci yang menunggu dimangsa oleh elang. Ia menyuruh anak buahnya mengisi karung dan memperkuat pertahanan parit. Jamal memegang karung dan aku mengisinya dengan sekop satu persatu dengan gerakan yang cepat. Setelah sekitar 20 sendok sekop kami mengikatnya dan mencoba untuk menaikinya ke atas parit. Kami lihat terlebih dahulu apakah ada artileri yang muncul. Setelah yakin aman, kami angkat dan kemudian kami isi lagi karung dengan pasir kembali. Kini Jamal yang mengisi karungnya dan dengan cepat karung terisi.

Aku yang mengangkat melihat keadaan di atas parit dan tidak ada yang berbahaya maka aku langsung lemparkan karung keatas dan kini giliran diruku yang mengisi. Jamal mengangkat dan menaiki ketas. Sekarang giliran aku yang memegang karung dan membuka mulut karung dengan lebar namun ternyata badan Jamal sudah menyadar. Aku goyangkan tubuhnya dan badannya terperosok ke dalam parit. Ia tertembak.

Aku meminta bantuan dari teman-teman dan Mulazim yang kebetulan ada di sana sudah mengetahui  Jamal sudah meninggal terkena tembakan di bagian kepala. Aku sama sekali tidak mendengar mungkin karena suara peluru meriam yang begitu menggelegar sehingga tidak terdengar lagi suara peluru musuh. Mulazim mengingatkan agar berhati –hati.

Kakek Sulayman yang bisa memegang karung untuk sementara ini. Biarlah aku yang mengisi karung dan terus menerus. Setidaknya aku pikir sampai dua jam ke depan. Menurut perkiraaan Australia akan menghentikan serangan artileri karena akan mengistirahatakan alat-alat tempurnya jika mereka memaksakan untuk menyerang maka itu sama saja merusak peralatan militer mereka. Ada kejadian meriam yang beroperasi tersebut akan meledak.

Mudah-mudahan perkiraaan tidak meleset sebab ini sudah parah dan banyak lubangnya yang tertutup tanah. Mulazim memindahkan pasukan ke tempat parit yang tertutup runtuhan tanah. Kami membenarkan terlebih dahulu kayu-kayu yang menyangga parit-parit tersebut. Aku menghujamkan kayu ke bawah tana dan menyambung dengan sebelahnya.

Seorang yang besar badannya Hanzhalah mencoba mendorong karung-karung tersebut dengan tangganya. Ia tampak bekerja keras dengan urat-urat wajahnya menonjol. Jengis dan Abdul Khoir turut mendorongnya. Aku mengambil karung-karung tersebut untuk dipindahkan.

Mulazim berteriak ada satu proyektil bom meluncur ke arah mereka dan  mereka semua menunduk. Bom meledak menggelegar di sekitar kami. Suara menjadi hening walau mata sudah terbuka. Aku melihat Mulazim berteriak mengajak untuk berlindung namun aku tidak mendengar perkataanya. Aku mencari perlindungan saja dan menunduk. Sedikit demi sedikit suara ledakan terdengar kembali. Alhamdulillah, saya mendengar seluruh perkataan. Ada beberapa prajurit menjadi korban terluka. Mulazim segera mengevakuasi mereka yang tewas maupun yang terluka dan sisanya tetap menggali menjadi lebih dalam untuk perlindungan. Mereka juga mengawasi arah depan agar tidak ada pasukan musuh yang menyusup ke dalam pertahanan mereka.

catatan

Cavus = sersan

Mulazim = Letnan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun