Ia menuangkan teh apel ke dalam gelas kami. Sebagai berjaga dan sebagian meminum teh. Aku berbicara dengan Yasir beserta teman-temanku yang bernama,
Yasir menceritakan pengalaman yang mengerikan. Bukan pengalaman ancaman dari binatang buas melainkan pasukan musuh sendiri yang maju dengan ganas. Merangsek tanpa peduli dan ada Pasukan tidak bisa menghadapi mereka dan harus mati. Kami sangat khawatir dengan hal itu. Kalau aku menemukan pasukan itu maka aku akan berusaha menghancurkan mereka. Seorang Sersan yang mendengarkan hal itu dan ia manggut-manggut mendengar hal itu
"Kita harus berhati-hati mungkin mereka adalah pasukan perintis yang ditempatkan di depan kita"
"Tetapi kalau kita mempunyai senapan mesin mungkin mereka tidak akan berani untuk menyeberang ke tempat kita", kataku
Sersan Ahmad Yildirim membenarkannya.
"Sayangnya mungkin peluru mereka habis. Kau perhatikan mereka terus jangan sampai mereka menembus pertahanan kita dan tentu saja nyawamu menjadi taruhan "
Baiklah aku kini mengenal Sersan Ahmad Yildirim dari wilayah Damaskus yang membawa 15 prajurit yang mengganti separuh dari prajurit yang telah mati.
Yasir memasukan ke wadah kami kepulan asap membumbung. Seandainya ada sepotong atau dua potong gula menambah manis.
Aku ingin tahu apa sih pekerjaan Yasir. Ia menceritakan bahwa ia seorang nelayan yang sering mencari ikan di perairan Marmara. Aku sangat menikmatinya apel tersebut meski gula belum ada dan kini giliran roti simit. Roti yang seperti angka 8 tersebut enak sekali. Aku masih tegang dengan cerita dari Yasir namun aku harus kebal. Aku tidak boleh dikalahkan oleh mereka yang hendak menyetir bangsa besar ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H