Mohon tunggu...
Andri Faisal
Andri Faisal Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Seorang dosen manajemen keuangan dan Statistik. Peminat Sastra dan suka menulis fiksi. Suka Menulis tentang keuangan dan unggas (ayam dan burung) http://uangdoku.blogspot.com http://backyardpen.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Novel | Ismail the Forgotten Arab Bagian ke Delapan

19 Mei 2017   13:53 Diperbarui: 23 Mei 2017   13:07 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokter Adnan

Suatu saat Mulazim Ilham pulang dari rapat Batalyon. Tentu aku tegang sekali ditinggalkan oleh Ilham tanpa ada perwira senior namun panglima batalyon Mirlava Mustafa sudah menyuruh dan mau tidak mau Ilham harus datang memenuhi panggilan. Ia begitu ceria sekali seakan ia mendapatkan sesuatu yang baru. Mungkinkah ia akan mendapatkan pasukan. Tentu saja pangkatku akan bergeser dan tidak menjadikan diriku orang kedua di peleton ini tetapi menurutku itu lebih baik karena Ilham membutuhkan seorang yang lebih berpengalaman seperti halnya Cavus Yildirim.

"Tuan begitu sumringah, apakah kita akan mendapatkan pasukan?"

"Hmmm.. kau tidak usah berharap dengan hal itu karena  sulit sekali keadaan di Medan perang. Semuanya melapor kekurangan pasukan dan para perwira banyak yang tewas karena serangan musuh yang sangat massif sekali menyerang pasukan mereka.

"Aku bertemu dengan orang yang mengenal pamanmu Muchtar namanya Mulazim Fikri Dogan dan ternyata ia memberitahu bahwa Muchtar masih hidup cuma dia tidak tahu dimana sekarang. Kalau menurut perkiraannya ia ada di rumah sakit Istanbul"

Aku tidak tahu bagaimana dengan kabar Paman Muchtar seolah tubuh ini ingin meluncur ke bawah namun aku merasa malu berhadapan dengan Mulazim. Masa aku malu kalau aku bersyukur pada Allah seharusnya aku harus malu jika aku tidak bersujud syukur dan langsung saja aku menunduk dan bersujud syukur setelah aku memberitahukan terlebih dahulu pada Mulazim Ilham. Aku bersyukur Paman yang juga sepupu ibuku selamat setelah Brigadenya dihabiskan oleh seluruh pasukan Australia.

Tentu aku tidak memasukkan seluruh pikiran dalam sujudku melainkan aku konsentrasi dengan rasa syukurku pada Allah yang telah menyelamatkan pamanku.

Aku justru cemas ini akan menyulitkanku untuk menemui Paman Muchtar tapi aku harus terus mencarinya. Ini adalah hal yang penting tetapi tentu saja aku harus memperhatikan tugasku di sektor ini yang membuatku harus terus berjaga .

"Aku tahu kau memikirkan pamanmu namun setidaknya ada pencerahan. Ada anaknya Paman Muchtar yang di sini dan bertugas juga"

"Ia bertugas di mana?"

"Ia bertugas di korps kesehatan di garis belakang"

Ah betapa bodohnya aku. Ada dokter yang berkebangsaan Arab dan kalau tidak salah bernama Adnan. Aku seperti pernah bertemu dengannya. Ya karena ia memang mirip dengan paman Akbar di Padang Bolak. Kenapa aku tidak berpikir sampai seperti itu. Pikiranku hanya tertuju pada Paman Muchtar saja dan Bibi Fathimah ataupun pama Hakija tidak memberitahukan adanya anak paman Muchtar di kesatuan angkatan Darat Utsmaniyyah. Kalau saja dari dulu mereka memberitahu mungkin tidak sulit seperti ini.

"Apakah namanya Adnan?"

"Aah, mungkin kau sudah tahu. Ya, aku mendengar namanya Adnan"

"Aku sendiri tidak ragu Mulazim. Tetapi aku bertemu dengan seorang dokter yang bernama Adnan di sana. Aku pikir ia masih saudara denganku karena ia memiliki wajah yang mirip dengan pamanku di kampung halaman. "

"Ya, kau bisa segera bertemu dengan sepupumu nanti. Kau akan bisa bertemu dengannya. Jika kau inginkan sekarang maka aku dengan senang hati mengizinkan dirimu”.

Tentu saja aku mau dengan hal itu dan aku pun langsung mendapatkan izin dari Mulazim

Aku segera berlari ke belakang dan sambil melihat ke sana dan kemari khawatir ada sniper yang mengincar diriku. Aku melewati lubang parit yang besar dan beberapa prajurit yang sedang beristirahat dan tidur. Ke rumah sakit cukup lama juga dan membutuhkan waktu sekitar setengah jam perjalanan. Kaki sudah terasa pegal ketika menjaga. Aku kembali melihat sektorku khawatir ada penembakan atau seorang musuh sementara aku di sini dan aku menjadi tidak enak jika aku  di sini untuk memuaskan keinginan pribadiku. Mulazim sudah mengizinkan tetapi aku juga tidak mau berbuat. Aku balik lagi di langkah. Untuk apa balik menunda-nunda akan membuat aku menjadi seorang yang justru akan menghancurkan pletonku aku kembali dan berlari dan tibalah aku di rumah sakit lapangan. Akhirnya aku bertemu dengan perawat. Banyak pasukan yang terluka. Ada yang merintih kesakitan karena terluka. Aku menduga ia terluka terkena mortar  aku khawatir. Aku bertanya pada seorang perawat namun ia menyebutkan bahwa dokter Adnan sedang tidak bertugas, mungkin sedang ke Istanbul. Aku segera mengambil langkah 1000 untuk kembali ke posisiku.

Alhamdulillah aku melihat Ibnu Makmum masih menjaga dan tidak ada perang namun perasaan hati ini menjadi lebih tidak enak.

Aku menjadi kecewa karena tidak ada di tempat dan tiba-tiba ada rentetan seolah kedatanganku sangat tepat sekali. Para teman-temanku sedang berada di parit dan hendak membalas serangan mereka.

Untung saja aku kembali kalau tidak hal ini pasti akan merepotkan teman-teman saya. Mulazim mendekatiku dan menanyakan apakah aku bertemu dengan perwira dokter tersebut?

Tentu saja aku menjawabnya tidak ada yang bisa kutemukan. Tampaknya Mulazim juga prihatin juga. Ia menawarkan jika saya perlu ke Istanbul. Tentu aku berkeinginan tetapi aku harus memikirkan hal pertahanan aku tidak akan jebol kalau mereka terus menerus menyerang kami.

Aku bodoh sekali. Bahkan aku sempat berlama-lama di tempat barak rumah sakit tersebut. Ah. Jangan suka mengatakan diriku bodoh karena semua bisa saja bodoh suatu saat.

Aku seringkali berkata andaikan tadi saya bisa bertemu dengannya mungkin urusan akan menjadi beres.

Aku ingat ketika Bibi Fathimah bertemu dengan Bibi Hindun sempat ada harapan namun karena seluruhnya tidak bisa mewakili Paman Muchtar maka mereka menunggu Paman Muchtar.

Mungkinkah Paman Hakija berbagai bahwa peperangan paling sedikit akan memakan waktu 5 tahun atau sekitar selama itu. Tentu saja peperangan akan ditentukan oleh seberapa kuat musuh dan kawan. Kalau yang satu lebih dominan maka pernah akan cepat seleai dan kemenangan pada pihak yang dominan. Paman Hakija meragukan kesiapan Jerman untuk membantu karena mereka sendiri pasukannya lebih sedikit daripada Inggris dan Perancis. Kedua negara tersebut mempunyai persediaan pasukan dari negeri jajahan mereka seperti di Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Sedangkan Jerman mengharapkan hanya dari Turki yang pasukannya sedikit banyak. Ah sudahlah.

Saya tidak akan putus asa meski keadaan memang tidak menguntungkan. Bagiku perang ini harus kita menangkan dengan cara yang baik. Perang ini juga seharusnya tidak menghalangi kami menikah dan aku yakin Galipoli tidak akan lama sebab pasukan Australia sudah mulai goyah dengan kokohnya pertahanan kami.

Aku akan melamar Aisyah. InsyaAllah, karena niat sudah ditetapkan dan ternyata saya tidak bertepuk sebelah tangan karena Aisyah juga ternyata menyenangiku.

Mereka menyerang dengan gigih dan aku mendengar teriakan mereka yang membahana. Kami juga tidak mau kalah sambil menerjang mereka kami berteriak melepaskan seluruh ketakutan kami sementara untuk menghadapi serangan mereka.

Mereka tidak bisa lagi menembus kami dan kami tenang untuk sementara. Aku tidak tahu lagi namun aku harus mencarinya dari para perwira tadi atau aku akan kembali ke rumah sakit lapangan sekitar 2-3 hari lagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun