Ah betapa bodohnya aku. Ada dokter yang berkebangsaan Arab dan kalau tidak salah bernama Adnan. Aku seperti pernah bertemu dengannya. Ya karena ia memang mirip dengan paman Akbar di Padang Bolak. Kenapa aku tidak berpikir sampai seperti itu. Pikiranku hanya tertuju pada Paman Muchtar saja dan Bibi Fathimah ataupun pama Hakija tidak memberitahukan adanya anak paman Muchtar di kesatuan angkatan Darat Utsmaniyyah. Kalau saja dari dulu mereka memberitahu mungkin tidak sulit seperti ini.
"Apakah namanya Adnan?"
"Aah, mungkin kau sudah tahu. Ya, aku mendengar namanya Adnan"
"Aku sendiri tidak ragu Mulazim. Tetapi aku bertemu dengan seorang dokter yang bernama Adnan di sana. Aku pikir ia masih saudara denganku karena ia memiliki wajah yang mirip dengan pamanku di kampung halaman. "
"Ya, kau bisa segera bertemu dengan sepupumu nanti. Kau akan bisa bertemu dengannya. Jika kau inginkan sekarang maka aku dengan senang hati mengizinkan dirimu”.
Tentu saja aku mau dengan hal itu dan aku pun langsung mendapatkan izin dari Mulazim
Aku segera berlari ke belakang dan sambil melihat ke sana dan kemari khawatir ada sniper yang mengincar diriku. Aku melewati lubang parit yang besar dan beberapa prajurit yang sedang beristirahat dan tidur. Ke rumah sakit cukup lama juga dan membutuhkan waktu sekitar setengah jam perjalanan. Kaki sudah terasa pegal ketika menjaga. Aku kembali melihat sektorku khawatir ada penembakan atau seorang musuh sementara aku di sini dan aku menjadi tidak enak jika aku di sini untuk memuaskan keinginan pribadiku. Mulazim sudah mengizinkan tetapi aku juga tidak mau berbuat. Aku balik lagi di langkah. Untuk apa balik menunda-nunda akan membuat aku menjadi seorang yang justru akan menghancurkan pletonku aku kembali dan berlari dan tibalah aku di rumah sakit lapangan. Akhirnya aku bertemu dengan perawat. Banyak pasukan yang terluka. Ada yang merintih kesakitan karena terluka. Aku menduga ia terluka terkena mortar aku khawatir. Aku bertanya pada seorang perawat namun ia menyebutkan bahwa dokter Adnan sedang tidak bertugas, mungkin sedang ke Istanbul. Aku segera mengambil langkah 1000 untuk kembali ke posisiku.
Alhamdulillah aku melihat Ibnu Makmum masih menjaga dan tidak ada perang namun perasaan hati ini menjadi lebih tidak enak.
Aku menjadi kecewa karena tidak ada di tempat dan tiba-tiba ada rentetan seolah kedatanganku sangat tepat sekali. Para teman-temanku sedang berada di parit dan hendak membalas serangan mereka.
Untung saja aku kembali kalau tidak hal ini pasti akan merepotkan teman-teman saya. Mulazim mendekatiku dan menanyakan apakah aku bertemu dengan perwira dokter tersebut?
Tentu saja aku menjawabnya tidak ada yang bisa kutemukan. Tampaknya Mulazim juga prihatin juga. Ia menawarkan jika saya perlu ke Istanbul. Tentu aku berkeinginan tetapi aku harus memikirkan hal pertahanan aku tidak akan jebol kalau mereka terus menerus menyerang kami.