Mohon tunggu...
Andri Faisal
Andri Faisal Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Seorang dosen manajemen keuangan dan Statistik. Peminat Sastra dan suka menulis fiksi. Suka Menulis tentang keuangan dan unggas (ayam dan burung) http://uangdoku.blogspot.com http://backyardpen.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

[Novel] Ismail, The Forgotten Arab Bagian Ketiga

22 April 2017   13:27 Diperbarui: 1 Mei 2017   07:08 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Keturunan Arab 1 Jumadil Tsani 1333 H

Sudah dihitung ternyata dari Brigade 26 lebih dari separuhnya adalah orang Arab atau sektar 2/3 orang arab. Mereka tidak menghitung diriku sebagai orang Arab tetapi sebagai orang yang berasal dari timur jauh. Mereka semua mengenakan pasukan sukarelawan militer dan dan dicampur dengan pasukan Turki yang berjumlah sekitar satu batalyon atau 1000 orang saja sedangkan sekitar 2302 adalah orang Arab yang berasal dari Syam, Hijaz, dan juga Yaman.

Aku tahu bahwa aku sendiri bangsa Arab namun mereka tidak melihatku seperti bangsa Arab. Hal itu mungkin karena logat bahasaku yang tidak dikenal oleh mereka. Mereka sepertinya melihatku seperti orang Melayu walau hidungku mancung dan tubuhku tinggi. Leluhur kami sudah lama tinggal di timur jauh selama ratusan tahun lamanya.

Aku baru tahu bahwa aku turunan Arab sejak aku berumur 17 tahun. Aku berjalan menuju ladang yang basah di musim penghujan. Ayah yang sedang mengawasi sawah yang dipekerjakan oleh orang lain-lain. Ayah sebagai kepala kampung tidak langsung bekerja di sawah. Tangannya bersih dari gesekan cangkul atau bajak yang peganggannya kasar. Jangan harap lihat ayah menyabit rumput atau memotong padi karena orang lain yang sudah mengerjakan hal tersebut.

Aku sebagai anaknya juga seperti tabu memegang pekerjaan itu walau hatiku ingin seperti itu. Pernah aku mencuri-curi kesempatan untuk mencangkul namun satu atau dua kali aku terasa lelah sekali. Aku meletakkan cangkul sebelum ayah melihatku.

Ayah duduk di saung dan memandangi luas sawahnya yang menguning. Ia menceritakan bagaimana ia membuka kampung ini dengan pejuangan.  Ia melawan suku lain yang selalu mengganggu Kami karena menginginkan tanah kami. Da juga yang suka mengambil sapi karena mereka tidak bisa untuk memelihara sapi.  

Tentu saja kita harus mempertahankan tanah ini dari mereka. Mereka harus menghentikan pencurian terhadap harta dan benda kami. Kami menyerang mereka.

 Meski kami sedikit kami berhasil mengusir mereka dan kami mengultimatum mereka agar jangan lagi menganggu kami.

Aku mempertanyakan asal usul kita. Ayah menceritakan bahwa kita berasal dari Aceh. Mereka adalah pedagang Aceh yang sudah lama menetap di sana. Sebenarnya asal mereka adalah Hadramaut. Mereka sudah beranak-pinak di Aceh.

Aku bertanya apakah kami masih keturunan Nabi? Pertanyaan yang aku kira hanya pertanyaan anak kecil saja. Mengenai hal tersebut, aku juga tidak tahu karena ia juga tidak mengetahui dari ayahnya namun kalau suatu saat aku ke Aceh atau mungkin ke Hijaz mereka bisa memberikan bantuan mengenai silsilah kehidupan dari keluarga kami.

Aku sudah membayangkan pada waktu itu untuk pergi ke Hijaz dan itu hanya membutuhkan waktu 5 tahun saja dari mimpi saya untuk ke Hijaz. Di Hijaz,  saya  bertemu dengan paman baik dari pihak ayah maupun pihak ibu. Kalau kakek tidak tinggal di sini melainkan tinggal di Banda Aceh. Aku belum menemuinya dan mungkin setelah perang ini aku akan kembali menjenguk kakek.

Aku pikir mereka sangat berani karena mereka berjalan jauh untuk mendapatkan tanah dan mereka juga hendak mendakwahkan Islam di kalangan orang yang masih menyembah berhala. Semoga mereka mendapatkan padahal dari apa yang mereka usahakan pada waktu dulu.

Untuk mengembangkan peternakan mereka harus mencari lahan yang luas dan mereka sudah memikirkan untuk mencari lahan yang luas tersebut ke utara. Mereka melewati hutan-hutan yang masih ada binatang buas seperti harimau.

Aku merinding mendengar kata harimau seolah ia berada di belakang saung kami dan sedang mengintip apakah kami sedang lengah atau tidak. Harimau akan menerkam ketika membelakangi mereka namun jika kita bisa berhadapan maka mereka akan menunduk dan mereka akan mencari jalan yang lain terkecuali mereka sudah terdesak .

Bintang di Langit

Aku merebahkan tubuh ke bawah parit di malam yang hening . Aku membayangkan bagaimana aku bisa sampai ke sini. Yah, aku mempunyai misi pribadi untuk bertemu dengan Paman Mukhtar. Meski aku membawa nama lengkap dari Paman Mukhtar namun aku sulit untuk mendapatkan orangnya

 Aku ini seorang prajurit dan tidak bisa untuk menyempatkan diri untuk bertemu seorang Bintara. Terkecuali aku seorang perwira yang bisa bebas keluar masuk markas dengan alasan untuk berkoordinasi.

 Di malam yang bintangnya banyak ini gelap sekali. Aku ingat suatu hari mencari sapi yang hilang. Aku dan Ibrahim beserta Paman Abdul Rozzaq mencari sapi yang hilang tersebut. Harapan untuk mendapatkannya tentu tipis sekali karena ada hewan buas. Harimau yang selalu mengincar hewan ternakku. Kalau yang namanya Harimau aku sangat khawatir sekali dengan mahluk tersebut bahkan aku bilang aku cenderung takut pada Harimau tersebut.

 Tetapi kini aku memandangi bintang Turki yang tidak ada harimau didalamnya. Hanya ada beruang dan serigala yang jahat. Mereka pasti sudah menyingkir waktu sekutu memborbardir kami. Hakan temanku bercerita bahwa mereka tidak tahan mendengar suara rintihan bom yang sangat keras. Hakan Seorang petani madu yang tinggal di Sakarya. Ia menceritakan beruang-beruang tersebut seringkali mendekati peternakannya. Ia sengaja membawa Arbeques bukan bedil Mausser karena Arbeques suaranya seperti meriam. Tentu ia tidak mengisi dengan peluru timah melainkan serbuk mesiunya saja yang porsinya sedikit lebih banyak agar membuat ledakan yang lebih kuat.

 Sepertinya bukan beruang yang ia harus khawatirkan tetapi mahkluk mahluk yang katanya mempunyai pikiran mulia namun ingin merebut tanah muslimin. Mereka kini sedang ada di depan untuk menyerangku yang sedang berbaring.

 Teman-teman yang menjaga tegap mengarahkan pandangannya ke depan untuk melihat siapa saja yang masuk. Sudah beberapa hari atau sekitar  dua hari mereka tidak menyerang. Ini  tentu aneh.

Aisyah

Aku dipanggil oleh bibi Siti Fathimah, ia adalah adik kandung ibuku. Ia mempunyai kedekatan yang sangat intens pada ibuku karena usianya hanya terpaut empat tahun saja. Jadi setelah ibuku lahir maka urutannya adalah Bibi Siti Fathimah. Orangnya blak-blakan. Ia tidak mau pura-pura. Ialah yang memberitahu bahwa anaknya Paman Mukhtar cantik mirip ibuku.

Perkataanya mungkin mungkin sering meninggi yang kadang membuat orang tidak percaya. Sebenarnya tidak ada maksudnya berbohong. Aku berharap itu bukan perkataan sebuah hiperbola saja. Karena jika hanya perkataan saja hal itu akan menghabiskan waktu.

Aku melihat seorang gadis. Ya, ia benar-benar mirip dengan ibuku. Bibi memang benar dan kali ini bukan seperti perkataan pamanku yang lain kalau bibiku suka membesarkan perkataan. Tidak lebih dan tidak bukan, gadis itu perwujudan dari ibuku hanya saja badannya yang lebih tinggi dan besar. Ia tampak anggun mengiring unta-unta yang hendak diberi minum.

Aku sudah menyatakan setuju dan bibi Fathimah tampaknya senang dan puas. Ia meminta untuk segera keluar dari sana takut gadis itu mengetahui keberadaan kami yang sudah mengintainya. Bibi pun langsung berbalik badan dan ia segera ke rumahnya.

Aku melihat Paman Hakija yang sedang bekerja untuk mengumpulkan barang dagangannya berupa kain yang diimpor dari luar negeri. Ia hendak menggunakan bahan kain itu untuk menjahit gamis laki-laki dan gamis perempuan.

"Darimana saja kalian?"

"Aku dan Ismail sedang melihat Aisyah Putri, saudara sepupuku Mukhtar”

Tampaknya Paman Hakija sedikit pesimis terlihat dari wajahnya yang bengong.

"Selama ayahnya di Istanbul mana, bisa kau melamarnya?"

"Abang, tetapi tidak ada salahnya Ismail melihatnya. Bukankah mereka ke sini juga untuk mencari jodoh. Apa salahnya ia kita jodohkan dengan keponakan kita yang akan mempererat kekerabatan kita”

“Aku kira tidak akan masalah, namun karena ayahnya ada di Turki kita akan sulit untuk meminta izin ayahnya”

“Apakah tidak bisa Adnan, anak tertua Muchtar yang memberikan izin dan kalau perlu paman-paman Aisyah dilibatkan. Kita tidak boleh untuk memisahkan orang yang sudah baligh dan saling menyukai”

“Apakah kau yakin Aisyah akan suka dengan Ismail?”

“Nah, itu dia kita harus usahakan terlebih dahulu. Nanti baru kita akan bicarakan dengan saudara mereka”

Paman Hakija menganggu-angguk saja untuk mendengar hal itu.

**

Esoknya bibi pulang dari Rumah Paman Muchtar. Bibi tampaknya kecewa sekali. Kami sedang duduk di teras depan dan sedang menikmati teh. Ia marah-marah karena tidak bersedia menjawab sebelum datangnya ayahnya ke Jeddah. Tentu saja hal ini sama saja tidak mau menerima lamaran dari Ismail.

“Kau harus tahu dik, bahwa bahkan mereka sendiri bisa menolak lamaran. Kalau mereka tidak suka untuk apa kita paksakan nantinya akan membuat mereka menderita di akhirnya “, kata Paman Hakija

“Benar bibi, apa yang paman katakan itu benar seluruhnya. Aku juga tidak akan terlalu ngotot kalau memang ia sudah memutuskan demikian”

Air mata keluar dari pinggir pelupuk mata bibi Fathimah.

“Aku hanya malu jika ibumu tahu bahwa aku tidak bisa untuk mencarikan kamu jodoh. Dulu kami sudah dekat waktu kami tinggal hingga ayahmu Abdurrahman membawanya ke Kerajaan Aceh”

Aku paham bibi sangat sedih sekali. Si suami, Paman Hakija mencoba menghibur istrinya dan  tidak terlalu keras pada dirinya sendiri. Mungkin saja Aisyah belum berjodoh dengan Ismail namun suatu saat nanti akan dijodohkan.

Hal itu justru membuatku untuk berminat untuk maju ke Turki dan menemui Paman Muchtar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun