“Apakah tidak bisa Adnan, anak tertua Muchtar yang memberikan izin dan kalau perlu paman-paman Aisyah dilibatkan. Kita tidak boleh untuk memisahkan orang yang sudah baligh dan saling menyukai”
“Apakah kau yakin Aisyah akan suka dengan Ismail?”
“Nah, itu dia kita harus usahakan terlebih dahulu. Nanti baru kita akan bicarakan dengan saudara mereka”
Paman Hakija menganggu-angguk saja untuk mendengar hal itu.
**
Esoknya bibi pulang dari Rumah Paman Muchtar. Bibi tampaknya kecewa sekali. Kami sedang duduk di teras depan dan sedang menikmati teh. Ia marah-marah karena tidak bersedia menjawab sebelum datangnya ayahnya ke Jeddah. Tentu saja hal ini sama saja tidak mau menerima lamaran dari Ismail.
“Kau harus tahu dik, bahwa bahkan mereka sendiri bisa menolak lamaran. Kalau mereka tidak suka untuk apa kita paksakan nantinya akan membuat mereka menderita di akhirnya “, kata Paman Hakija
“Benar bibi, apa yang paman katakan itu benar seluruhnya. Aku juga tidak akan terlalu ngotot kalau memang ia sudah memutuskan demikian”
Air mata keluar dari pinggir pelupuk mata bibi Fathimah.
“Aku hanya malu jika ibumu tahu bahwa aku tidak bisa untuk mencarikan kamu jodoh. Dulu kami sudah dekat waktu kami tinggal hingga ayahmu Abdurrahman membawanya ke Kerajaan Aceh”
Aku paham bibi sangat sedih sekali. Si suami, Paman Hakija mencoba menghibur istrinya dan tidak terlalu keras pada dirinya sendiri. Mungkin saja Aisyah belum berjodoh dengan Ismail namun suatu saat nanti akan dijodohkan.