Sub Tema : Regenerasi Petani.Â
Kubangan lumpur di sawah masih tak beraroma,
Orang-orang bertanya, mengapa sawah tak jua beranak?
Pak Tua menjawab, "Karena di sana tak ada mantra..."
Sepenggal syair di atas adalah sindiran yang penulis tulis sebagai pemanis untuk mengetuk nurani pembaca lintas generasi sekalian, tentang arti tak acuh. Betapa Indonesia adalah sekumpulan suku bangsa yang berdiri di bawah satu bendera, meninggalkan warisan yang sangat berharga bernama; Kemakmuran alam.
Namun pergeseran zaman mulai mengkusutkan benang merah tersebut. Gambaran  yang dihimpun oleh Sensus Pertanian BPS 2018 menunjukkan jumlah petani di Indonesia turun 1,1% setiap tahunnya, dan angkatan dengan rentang umur 45 tahun ke atas berada di persentase 70%, diperburuk berbagai alih fungsi lahan pada industri manufaktur dan properti yang kian masif. Artinya, tren pertanian semakin ditinggalkan generasi muda. Â
Hal ini memberi sinyal bahwa generasi ini 'mulai lupa' akan warisannya, atau mungkin mereka tidak lupa hanya berusaha memperbaharui warisan tersebut agar relevan dengan zamannya. Tanah yang makmur adalah warisan bangsa. Kekayaan yang dulunya menjadi rebutan bangsa-bangsa asing hingga Indonesia terjajah ratusan tahun. Dan dengan segala kelimpahan itu, kini generasi muda mulai teralihkan dengan apa yang lebih indah terbias cahaya elegansi zaman.
Rasanya lebih nikmat mencicipi teh rasa mint berbalut cup dengan merk Eropa, dibanding minum wedang jahe di tengah sawah. Seakan kedua tongkrongan ini bak langit dan bumi. Globalisasi memang menyebabkan pergeseran tren gaya hidup, generasi muda bercita-cita relevan dengan apa yang menjadi pusat perhatian di zamannya. Seperti pilot, PNS, CEO populer, trader saham, dan sebagainya dibanding petani dengan asosiasinya yang dekil, bau lumpur, memegang cangkul, bercaping, pendapatan tak seberapa, tak punya daya politik, dan lain-lain. Tidak salah memang jika generasi 'millenial' berpikir demikian mengikuti patron ekonomi di zamannya.
Meskipun fakta di lapangan menunjukkan bahwa petani sejahtera itu ada, petani berdasi dengan asset miliaran rupiah itu ada, bahkan beberapa legislator negeri ini adalah mantan petani kecil sebut saja seperti: Mad Buang (DPRD Serang), Philipus Kami (DPRD Minahasa), hingga Ali Mustofa (DPRD Kota Batu) dan bahkan sosok Presiden USA seperti Abraham Lincoln, Harry S. Truman, hingga Bill Clinton adalah petani di masa mudanya. Namun jika diukur dengan skala, mungkin 1 banding puluhan ribu yang mencicipi posisi itu, dan sedikit yang mengetahuinya. Â Â
Sehingga sebagian orang tersinggung jika dikategorikan sebagai 'masyarakat kelas petani' karena profesi yang paling mudah menggambarkan kondisi pra sejahtera adalah petani. Generasi muda pun terbawa. Jangankan menjadi petani, mendekatinya saja enggan, maka tak heran budaya cibiran adalah bagian dari proteksi. Ketika melihat petani, generasi muda ikut mencibir agar merasa aman di tongkorongannya. Amit...amit deh menjadi petani, pikir mereka.
Apalagi menurut riset Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) 2015, Â hanya 54% responden yang mau melanjutkan profesi orang tuanya sebagai petani, sisanya masih ragu-ragu dengan alasan kesejahteraan yang memprihatinkan.Â
Ini menjadi tantangan pemerintah dalam mewujudkan 'Regenerasi Petani.' Berbagai program memang telah dan sedang berjalan untuk mengajak generasi muda menjadi petani dan SDM pertanian yang unggul. Yakni program aksi Regenerasi Petani/ SDM Pertanian dan program aksi Gerakan Pemberdayaan Petani Terpadu (GPPT) yang diselenggarakan Kementrian Pertanian lewat Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM (BPPSDMP) yang tujuannya menciptakan transfer visi kepada generasi muda dalam memberdayakan potensi agro kita, serta mengawal proses transisi ini.
Namun seberapa efektif kah program tersebut?Â
Road map pengembangan SDA dan SDM telah tersedia, dana desa milyaran rupiah sudah dikucurkan, berbagai program dan aksi telah dan sedang berjalan, namun rasanya ada yang kurang. Dewasa ini, grafik masih stagnan, dan orang-orang muda masih enggan jadi petani.
Mindset. Ya, Menurut penulis inilah akar masalahnya.
Adalah sebuah kisah di film The Hunger Games karya adaptasi novel Suzanne Collins yang mengisahkan sebuah negara bernama Panem dengan ibu kota Capitol yang hidup dari 12 distrik yang memompa pasokan makanan ke sana setiap harinya. Apa yang terlintas dari kisah tersebut adalah, bahwa kita mulai menjadi seperti generasi Panem di masa itu. Yang mana ke-12 distrik adalah jajahan, tidak terpandang, tidak populer, dianggap kelas bawah, pekerjaan kasar, sedang yang berada di Capitol adalah tuan, komunitas penguasa, pemilik modal, orang-orang dengan setelan mahal dan koleksi barang-barang mewah. Paradigma ini dapat kita sinonimkan dengan kota dan desa.
Pada pedesaan, asosiasinya adalah ketertinggalan yang memasok segala sesuatunya ke kota. Sedangkan orang ke kota biasanya menggangap dirinya lebih unggul dari desa dan berkunjung ke desa sekedar memamerkan diri atau membawa pengaruh sosial politis.Â
Sederhananya saja, banyak sarjana muda yang tidak mau kembali ke desanya meski berasal dari rahim pedesaan dengan alasan klasik: Ingin memperbaiki taraf hidup. Seolah di desa tidak ada 'tambang emas', tidak ada tempat untuk meningkatkan value dirinya. Padahal, haketkanya desa adalah lumbung padinya Indonesia. Jauh di belahan bumi lain, mereka harus mengimpor bahan pangan dan bersusah payah menggemburkan tanah. Di bumi pertiwi, segalanya mudah. Lempar saja tongkat dan akan jadi tanaman, kata Koes Plus dalam lirik lagunya. Apakah generasi muda tidak melihat potensi pertanian itu? Tentu 'kami' melihatnya.
Hanya saja kembali, ini soal kesan. Bukan kesan kesejahteraan saja, melainkan kesan aktualisasi diri yang tercakup dalam egosentris generasi ini. Generasi yang perspektifnya berdasarkan populisme.Â
Jika kesan tidak berubah, regenerasi mungkin berjalan, baik lambat maupun cepat, selalu ada yang akan menjadi petani. Tapi tingkat partisipasi, dorongan, dukungan, gairah itulah suatu kemewahan yang belum dan tidak akan didapatkan oleh petani selagi asosiasinya masih sama.
Untuk meningkatkan populisme pertanian, pemerintah setidaknya perlu selera humor untuk mendorong generasi muda mengenal dunia pertanian. Tidak boleh ada asosiasi yang kaku. Apalagi citra seram institusi pendidikan pertanian yang beberapa kali menelan korban jiwa mahasiswanya sendiri karena perilaku arogansi senioritas. Pembaharuan citra harus dilakukan secepatnya. Dari kaku menjadi dinamis. Tingkatkan populisme dunia pertanian dengan berbagai program. Â
Hal simpel seperti: Membuat kuis-kuis pertanian di media sosial, Â tagline petani Ganteng/Cantik, festival film pertanian, reality show petani sukses, program petani pilihan masyarakat, konferensi petani muda, dan sebagainya bisa menjadi opsi mendekati millennial dengan sifatnya yang cair. Adapun implementasi program adalah jangka panjang. Â
Namun yang terumit adalah mereposisi citra kesejahteraannya. Perihal kesejahteraan memang masih menjadi memo yang ditunggu setiap orang sebelum berprofesi. Data dari Dell EMC Indonesia (2019) menyebutkan bahwa 94% generasi Z (Millenial) ingin bekerja di perusahaan dengan penguasaan teknologi karena teknologi berbanding lurus dengan kesejahteraan. Â Â
Memang dibanding negara-negara maju, dunia pertanian kita masih tertinggal dalam hal teknologi. Anekdot payah menyebutkan bahwa di luar sana, petani sudah memegang gadget dan laptop, serta menjadi operator drone sambil bersiul mengawasi sawah, sedang di Indonesia masih ada petani yang menggunakan kerbau, bahkan tersebar mitos-mitos hantu yang mencuri hasil panen petani dan itu ditayangkan di beberapa stasiun tv nasional, lalu paranormal ikut mengkaji permasalahan tersebut. Kesan yang jauh dari kata teknologi. Dan generasi muda yang melihat itu bertanya-tanya, benarkah ini yang akan jadi junjunganku? Â Â
Dalam mereposisi kesan kesejahteraan, menurut penulis pemerintah perlu membuat sebuah desa percontohan. Tidak perlu banyak. Mungkin satu dan harus secepatnya.
Sebuah desa yang dilengkapi dengan teknologi pertanian terbaik mulai dari pengairan, pembajakannya, perawatan, pengawasan hingga pemasarannya menggunakan teknologi masa kini. Didukung penuh dengan sarana yang maksimal seperti pengaspalan jalan, penerangan desa, mobilitas, keamanan, kebersihan, serta tersedianya fasilitas umum bagi penduduk dan para pengunjung.
Baiknya lagi, desa percontohan tersebut dikelola oleh generasi muda, bahkan investor proyek tersebut adalah anak muda. Dan mereka menyebut tempat kerja mereka basecamp. Â Lalu pemuda-pemudi keren ini bekerja siang dan malam dengan antusias sambil berkutat dengan gadgetnya. Diadakanlah publikasi masif untuk memberi tahu pencapaian desa percontohan 'Petani Millenial' itu dari waktu ke waktu untuk menciptakan kesan, "Ini loh, petani zaman now." Â Â
Dewasa ini, banyak generasi muda berinvestasi milyaran rupiah pada properti, startup, dunia kuliner, saham, namun tidak di pertanian. Kenapa? Karena generasi muda belum melihat contoh di sana. Dengan adanya desa percontohan yang diselenggarakan Kementrian Pertanian RI, maka bisa mendorong gairah generasi muda. Dan potensi kesejahteraan mereka akan menjadi tren populisme tersendiri.
Kesejahteraan ini akan menggoyang asosiasi lama, dan membuat banyak anak muda tergerak membangun bisnis model dengan sekutu yang sama. Anak muda lain tentu tak mau kalah. Bila perlu pemerintah bermitra dengan venture capitalist asal Indonesia yang jauh lebih berpengalaman dalam mengkoordinir pendanaan jangka panjang seperti ini dan merekrut anak muda sebanyak mungkin menjadi mitra kerja. Â Â
Jika hal sensasional yang cenderung negatif bisa viral, mengapa ini tidak? Pemerintah nantinya tidak repot lagi 'memaksa' anak muda menjadi petani, karena mereka yang akan menawarkan diri sesuai apa yang sedang populer seperti riuh startup teknologi belakangan ini.
Jika di Amerika Serikat unggul dari penguasaan teknologi digital bervaluasi decacorn, maka mungkin Indonesia dapat mengkulturasi jejaknya dengan penguasaan industri pertanian modern dengan valuasi yang sama. Karena itulah asset kita yang paling berharga: Kemakmuran alam.Â
Intinya adalah sebuah desa percontohan yang akan memperbarui asosiasi kesejahteraan dan populisme dunia pertanian kita di mata generasi millenial. Penulis selalu percaya pada prinsip domino.
Jika pemerintah bisa mendapat daya kejut dari domino itu, maka niscaya regenerasi petani akan berhasil dengan sendirinya. Dimana petani akan menjadi sebuah cita-cita, dimana petani beritme pada soft skill tidak lagi sekedar hard skill, dan petani tidak lagi erat hubungannya dengan kekakuan, melainkan elegansi, namun tetap membumi. Â
Sehingga kelak, ketika penulis berplesir sendirian di desa percontohan tersebut, ditemani lagu Rhoma Irama berjudul "Bujangan" akan ada seorang petani millenial bersantai sambil menyidir halus, "Saya kehabisan lumpur di sawah..." yang artinya: Lumpur saya terlalu berharga untuk melempar kamu yang sedang  kesepian.
Â
Refrensi: Link Link Link Link Â
                        Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H