Namun yang terumit adalah mereposisi citra kesejahteraannya. Perihal kesejahteraan memang masih menjadi memo yang ditunggu setiap orang sebelum berprofesi. Data dari Dell EMC Indonesia (2019) menyebutkan bahwa 94% generasi Z (Millenial) ingin bekerja di perusahaan dengan penguasaan teknologi karena teknologi berbanding lurus dengan kesejahteraan. Â Â
Memang dibanding negara-negara maju, dunia pertanian kita masih tertinggal dalam hal teknologi. Anekdot payah menyebutkan bahwa di luar sana, petani sudah memegang gadget dan laptop, serta menjadi operator drone sambil bersiul mengawasi sawah, sedang di Indonesia masih ada petani yang menggunakan kerbau, bahkan tersebar mitos-mitos hantu yang mencuri hasil panen petani dan itu ditayangkan di beberapa stasiun tv nasional, lalu paranormal ikut mengkaji permasalahan tersebut. Kesan yang jauh dari kata teknologi. Dan generasi muda yang melihat itu bertanya-tanya, benarkah ini yang akan jadi junjunganku? Â Â
Dalam mereposisi kesan kesejahteraan, menurut penulis pemerintah perlu membuat sebuah desa percontohan. Tidak perlu banyak. Mungkin satu dan harus secepatnya.
Sebuah desa yang dilengkapi dengan teknologi pertanian terbaik mulai dari pengairan, pembajakannya, perawatan, pengawasan hingga pemasarannya menggunakan teknologi masa kini. Didukung penuh dengan sarana yang maksimal seperti pengaspalan jalan, penerangan desa, mobilitas, keamanan, kebersihan, serta tersedianya fasilitas umum bagi penduduk dan para pengunjung.
Baiknya lagi, desa percontohan tersebut dikelola oleh generasi muda, bahkan investor proyek tersebut adalah anak muda. Dan mereka menyebut tempat kerja mereka basecamp. Â Lalu pemuda-pemudi keren ini bekerja siang dan malam dengan antusias sambil berkutat dengan gadgetnya. Diadakanlah publikasi masif untuk memberi tahu pencapaian desa percontohan 'Petani Millenial' itu dari waktu ke waktu untuk menciptakan kesan, "Ini loh, petani zaman now." Â Â
Dewasa ini, banyak generasi muda berinvestasi milyaran rupiah pada properti, startup, dunia kuliner, saham, namun tidak di pertanian. Kenapa? Karena generasi muda belum melihat contoh di sana. Dengan adanya desa percontohan yang diselenggarakan Kementrian Pertanian RI, maka bisa mendorong gairah generasi muda. Dan potensi kesejahteraan mereka akan menjadi tren populisme tersendiri.
Kesejahteraan ini akan menggoyang asosiasi lama, dan membuat banyak anak muda tergerak membangun bisnis model dengan sekutu yang sama. Anak muda lain tentu tak mau kalah. Bila perlu pemerintah bermitra dengan venture capitalist asal Indonesia yang jauh lebih berpengalaman dalam mengkoordinir pendanaan jangka panjang seperti ini dan merekrut anak muda sebanyak mungkin menjadi mitra kerja. Â Â
Jika hal sensasional yang cenderung negatif bisa viral, mengapa ini tidak? Pemerintah nantinya tidak repot lagi 'memaksa' anak muda menjadi petani, karena mereka yang akan menawarkan diri sesuai apa yang sedang populer seperti riuh startup teknologi belakangan ini.
Jika di Amerika Serikat unggul dari penguasaan teknologi digital bervaluasi decacorn, maka mungkin Indonesia dapat mengkulturasi jejaknya dengan penguasaan industri pertanian modern dengan valuasi yang sama. Karena itulah asset kita yang paling berharga: Kemakmuran alam.Â
Intinya adalah sebuah desa percontohan yang akan memperbarui asosiasi kesejahteraan dan populisme dunia pertanian kita di mata generasi millenial. Penulis selalu percaya pada prinsip domino.
Jika pemerintah bisa mendapat daya kejut dari domino itu, maka niscaya regenerasi petani akan berhasil dengan sendirinya. Dimana petani akan menjadi sebuah cita-cita, dimana petani beritme pada soft skill tidak lagi sekedar hard skill, dan petani tidak lagi erat hubungannya dengan kekakuan, melainkan elegansi, namun tetap membumi. Â